Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 10

“jika saya memberitahukan siapa pelakunya apa yang akan kalian lakukan ?” tanya bapak saya kepada warga yang berkumpul disana.

“tentu saja kita akan menangkapnya, masalah pengadilan kita tentukan nanti, apa mau kita adili sendiri atau dibawa ke kantor polisi ?” celetuk salah satu warga.

“memang kalian bisa menjamin bahwa ucapan saya benar ? jawab bapak.

“tentu saja bapak kan seorang dukun.” Jawab warga lainnya yang sepertinya tampak semangat.

“baik. Pertama saya sangat tidak nyaman dibilang seorang dukun, karena saya tak membuka praktek. Saya hanya berniat membantu asep, karena kasihan melihat istrinya. Kedua, apa bapak-bapak disini punya bukti penguat bahwa ucapan saya benar ?”

Setiap warga saling berpandangan, wajah mereka nampak kebingungan termasuk juga pak lurah. Tentu saja ucapan bapak benar, jika bapak saya menyebutkan nama baru, sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya mengalihkan kebencian pada orang baru lainnya.

“jadi apa yang harus kita lakukan sekarang pak lurah ?” ucap warga yang tampak tidak sabar.

Pak lurah masih diam dan belum mengambil keputusan, sementara warga saling berbisik berbicara dibelakang saling bertukar pendapat apa yang seharusnya mereka lakukan. Musyawarah ini berjalan begitu alot, hingga tak terasa adzan magrib terdengar.

Begitu adzan selesai berkumandang, tiba-tiba pak lurah bangun dari duduknya. Bisikan-bisikan dibelakang seketika berhenti, semua mata tertuju kepada pak lurah.

“begini saja, agar cepat beres dan tidak ada lagi kecurigaan. Bagaimana kalau si mardi di sumpah pocong.” Pernyataan pak lurah membuat kaget semua orang.

“bila kamu benar-benar tak bersalah seharusnya tidak keberatan mardi ?” ucap pak lurah menantap kang Mardi, yang kemudian disusul gemuruh suara warga mengiyakan pendapat pak lurah tersebut.

“tentu saja saya tidak keberatan.” Jawab kang mardi dengan sedikit ragu, mungkin dia merasa merinding mendengar nama sumpah yang jarang dilakukan ini.

Akhirnya keputusan pak lurah bisa sedikit meredam rasa kesal warga, termasuk kang Asep mungkin. Setelah itu pak lurah mengumumkan bahwa sumpah akan dilakukan setelah adzan isya di mesjid, kemudian ia memerintahkan beberapa warga untuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk kelangsungan sumpah pocong nanti, seperti kain kapan. Sebenarnya bapak mau berpendapat tapi melihat antusias warga yang begitu semangat, maka bapak memutuskan untuk setuju saja, setidaknya kecurigaan ini tidak berakhir dengan kekerasan.

Saya tidak terlalu paham dengan konsep sumpah pocong, tapi pendapat beberapa orang sumpah ini ada karena percampuran agama dan tradisi budaya ketimuran, khusunya dipulau jawa. Jadi menurut kepercayaan warga setempat, sumpah pocong dilakukan oleh seseorang yang dicurigai berkata bohong, konon bila si pembohong melakukan sumpah pocong maka kesialan atau bahkan bencana bisa menyelimutinya seumur hidup. sumpah ini dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan dipengadilan. Tapi di era moderenisasi seperti sekarang, rasanya jarang orang yang melakukan cara-cara seperti ini.

Sekitar setengah delapan malam, banyak warga berkumpul dihalaman depan masjid. Mereka penasaran dengan kejadian langka seperti ini, entah bagaimana caranya kabar tentang sumpah pocong ini cepat sekali merebak dikalangan warga.

Kang mardi yang baru selesai dimandikan, kini tubuhnya sedang dibungkus dengan kain kapan, melihat pemandangan seperti itu tentu saja membuat bulu kuduk saya merinding. Setelah tubuh nya selesai diikat dengant tali pocong, tubuh kang mardi dibopong ketengah masjid.
Sumpah siap diucapkan, semua warga menyaksikan dengan tegang. Namun tiba-tiba terdengar teriakan anak kecil dari arah luar.

“kang Asep..Kang Asep….kang Asep.”

semua orang perhatiannya teralihkan kearah pintu pagar masjid. Melihat seorang anak kecil sedang ngos-ngosan memanggil-manggil nama kang Asep. kang mardi yang sedang telentangpun ikut-ikutan bangun hingga membuat orang yang berada didepannya meloncat kaget.

Kang Asep yang merasa dirinya dipanggil langsung menghampiri anak kecil yang ternyata anak tetangganya tersebut sembari bertanya ada apa sebenarnya.

“Teh ratih lari, keluar rumah, ga tahu kenapa, seperti orang kesurupan..” ucap anak kecil dengan nada terbata-bata berusaha mengatur nafasnya.

Tanpa pikir panjang kang Asep segera berlari menuju rumahnya, seketika juga beberapa orang yang berada dimesjid termasuk pak lurah segera menyusul kang Asep meninggalkan kang mardi yang masih duduk kebingungan dalam kondisi tubuh terikat dalam kain kapan. Saya dan bapak juga ikut pergi, sedangkan orang-orang yang berkumpul disana ada yang pulang karena ketakutan, sebagian lagi ada yang pergi menyusul karena rasa penasaran.

Ketika kami sampai dirumah kang Asep, terlihat ibu mertuanya sedang menangis. Menurut mertua kang Asep, ketika teh ratih sedang duduk menonton tv, tiba-tiba ada suara anjing yang menggong-gong keras dan tak henti-henti diluar rumah. Karena ibunya takut dengan anjing, maka teh ratih yang berinisiatif pergi kehalaman untuk mengusirnya, namun selang beberapa menit teh ratih tak juga kembali masuk kedalam rumah.
“lalu ibu pergi keluar untuk menyusulnya, tapi ratih tidak ada. Dan menurut tetangga tadi ratih terlihat berlari sambil memegang batu mengejar anjing hitam kearah barat.” Ucap mertua kang Asep yang kemudian menangis kembali.

Kang Asep yang hendak pergi karena emosi ditahan beberapa warga, kata pak lurah sebaiknya kita melakukan pencarian bersama-sama. Sekitar dua puluh orang yang dipimpin pak lurah siap untuk melakukan pencarian. Sementara bapak mengajak saya pulang setelah berpamitan dengan kang Asep, kata bapak dia akan membantunya dengan cara lain.

“antar bapak kerumah aki merah”. Ucap bapak kepada saya.

Tanpa banyak bertanya saya menarik gas, meluncur menuju rumah ki merah. Sekarang saya merasa yakin mungkin ki merah lah pelakunya, dia telah memanfaatkan kesempatan ketika teh ratih ditinggalkan oleh suaminya untuk melancarkan serangannya lagi.

“memang ki merah itu siapa pak ?” diperjalanan untuk menghilangkan perasaan tegang saya bertanya.

“kamu masih ingat dengan cerita bapak tentang teh Maryah ?” bapak malah balik bertanya.

Menurut bapak ki merah sejak muda memang gemar mengulik ilmu-ilmu kebatinan, waktu itu bapak masih remaja. Masih ingat ketika kang Solihin hampir saja membunuh seorang pria yang diduga menyantet istrinya, menurut bapak orang tersebut adalah ki merah. Memang waktu itu tidak ada bukti yang kuat, tapi berdasarkan desas-desus yang beredar dikalangan warga meyakini bahwa ki merah memang pelakunya.

“bagaimana bapak yakin waktu itu kalau ki merah orangnya ?” saya masih penasaran.

Bapak saya bercerita bahwa kakek sayalah yang memberitahunya, waktu itu kakek saya baru pulang dari sawah malam-malam habis mengairi sawah. Ketika lewat belakang rumah kang solihin samar-samar dalam redupnya lampu bohlam dia melihat sesosok pria sedang menggali tanah. Karena merasa curiga kakek saya bersembunyi dibalik semak-semak mengawasi. Mungkin sekitar lima menit berlalu dan lubang itu telah selesai, pria tersebut mengeluarkan bungkusan kain putih dari sakunya, yang kemudian ia masukan kedalam lubang galian yang baru dibuatnya.

Saat melihat sesosok pria tersebut berbalik badan, dia yakin wajah itu adalah wajah ki merah. Dan keesokan harinya tragedi mengerikan teh maryah terjadi. Kakek saya merasa berdosa juga karena tidak bisa berbuat apa-apa, mengingat bila dia jadi saksipun tanpa bukti yang kuat pengadilan akan tetap tidak percaya.

“kenapa ki merah melakukan itu pada teh maryah pak ?” tanya saya masih penasaran.

Menurut bapak, tak ada yang tahu apa motif dibalik penyantetan teh maryah waktu itu, ada yang bilang dia cemburu karena ki merah menaruh hati sama teh maryah. Ada yang bilang keluarga kang solihin berselisih dengan keluarga ki merah tentang batas kebun mereka. Tapi ada yang bilang juga itu hanya kegilaan ki merah waktu muda yang ingin mencoba ilmu kebatinan yang baru dipelajarinya. Tak ada yang pasti, kabar itu simpang siur. Hanya ki merah sendiri yang tahu alasannya.

Mengerikan kalau yang terakhir menjadi alasan ki merah menyantet orang, gila bener, sikopat akut. Sunngguh merinding saya mendengar ada jenis orang seperti itu dimuka bumi ini.

“terus kenapa sekarang bapak bisa yakin kalau yang mengguna-guna teh ratih adalah ki merah ?”

Kakek saya pernah bilang kepada bapak, bahwa ilmu seperti ini sangat sulit untuk dikuasai. Hanya satu orang yang ia kenal yang bisa melakukan santet jenis ini, dan satu lagi menurut bapak saya, instuisi dan hasil dari penerawangannya selalu mengarah kepada ki merah.

Tidak terasa dalam obrolan panjang itu akhirnya kami tiba didepan rumah ki merah. Saya kira bapak akan langsung melabrak, marah-marah dan menendang pintu rumahnya. Tapi nyatanya bapak bertamu dengan sopan, dia mengetuk pintu masuk dengan pelan sambil mengucapkan salam.

Istri ki merah menyambut dengan ramah, kami dipersilahkan masuk. Segelas teh hangat dan keripik pisang disajikan sambil menunggu ki merah datang. Setelah bapak dan ki merah duduk berhadap-hadapan, bapak langsung mulai berbicara.

“saya mohon ki, siapapun yang menyuruh aki tolong hentikan. Saya sudah tak tega melihatnya.”

“apa maksudmu ?” jawab ki merah sambil cengengesan.

“sudahlah ki, kita tidak usah berpura-pura lagi.”

Raut wajah ki merah berubah menjadi serius, mungkin dia sudah tak bisa lagi menyepelekan bapak sekarang. Setelah memuji kejelian bapak, ki merah mulai bercerita.

“sebenarnya aku tak mau lagi menggunakan ilmu seperti ini, kau tahu sendiri akibat ulahku dimasa lalu aku sudah dicap jelek oleh masyarakat sini. Dikucilkan, disepelekan bahkan dipandang kriminal. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa pernah tahu alasanku melakukannya dulu.” Ucap ki merah.

“ada seorang pria umurnya mungkin sama denganku, dia mendatangiku malam-malam dan menceritakan masalahnya dengan gamblang, aku tak tega mendengarnya. Setelah mendengar ceritanya itu aku merasa menjadi diriku yang dulu, dia memiliki nasib sama sepertiku. Iblis dalam diriku muncul kembali, hingga aku mengiyakan permintaanya.” Lanjut ki merah.

“memang apa yang pria itu ceritakan ? apa dia punya masalah dengan keluarga si Asep. saya ingin mendengar alasannya ?” bapak bertanya.

0 komentar

Posting Komentar