Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 8

Wanita yang saya lihat dihalaman depan tiba-tiba menghilang ketika bapak kembali dari kebun pisang. Dengan baju basah karena bercucuran keringat bapak saya masuk kedalam rumah dan mengambil segelas air. Saya hendak bertanya apa yang terjadi, tapi saya urungkan niat itu ketika melihat bapak masih ngos-ngosan mengatur nafas.

Keesokan harinya saya bertanya kepada bapak tentang kejadian semalam. Bapak menjelaskan bahwa semalam dia melihat anjing hitam yang dulu pernah mencegat kita ditengah kebun teh. Anjing itu dipergoki bapak berada dibelakang dapur kami, rupanya dia ditugaskan untuk mengawasi keluarga ini.

Mungkin si pelaku santet marah kepada bapak, karena dia sudah membantu teh Ratih pulih. Dan sekarang mencoba balik menyerang bapak. Saya juga menceritakan tentang penampakan sesosok wanita yang terlihat dihalaman depan, mungkin sosok wanita tersebut juga yang menampakan diri kepada ibu waktu dikamar mandi. Tapi bapak menjawab dia tak melihat sosok wanita semalam hanya anjing hitam saja.

Ibu saya kembali pulih setelah diyakinkan bahwa semua baik-baik saja. kemudian bapak berpesan bahwa makhluk atau apapun namanya, tidak akan berani memasuki rumah, dia hanya mencoba meneror kita secara mental untuk kemudian lemah dari dalam. Seperti ibu yang ketakutan kemudian sakit karena mental dan jiwanya roboh sehingga mengakibatkan fisiknya juga ikut tumbang. Memang dari keluarga ini ibulah yang paling rentan jiwanya.

Sepertinya memang si pelaku santet yang misterius itu tak pernah jengah membuat keluarga saya celaka. Semenjak ibu pulih kembali dan beraktifitas seperti biasa, ada satu kejadian yang membuat ibu kembali sakit. waktu itu sebuah peristiwa terjadi setelah isya, lebih tepatnya sekitar jam 8 malam. bapak belum pulang kerumah, mungkin sehabis sholat isya dimesjid dia pergi ke rumah salah satu warga untuk tahlil 40 harian. Dirumah hanya ada saya, kedua adik perempuan saya dan ibu.

Saya waktu itu sedang dikamar membaca koleksi komik mini gareng petruk karangan Tatang S pinjaman dari teman lama saya yang baru pulang mudik juga, dia kuliah di jogja. Sedangkan ibu sedang dirumah tengah menonton tv. Menurut ibu ketika sedang asik menonton, terdengar suara ketukan di pintu, mungkin karena mengira itu tamu, ibu lantas bergegas untuk membukanya. Tapi begitu ibu membuka pintu, tak ada seorangpun berdiri disana, hanya beberapa batu seukuran jempol kaki tergeletak dibawah dilantai. Ketika ibu hendak menutup pintu teredengar seperti suara orang memanggil namanya.

ibu menyuruh masuk, dan temannya itu diam saja. karena mungkin ibu tak enak, malah dia yang menghampiri. Mereka berbincang cukup lama dihalaman depan sambil berdiri, karena sekeras apapun ibu mengajak temannya itu dia tidak mau masuk kedalam rumah.

“ayo atuh bu kerumah saya, banyak makanan ga kemakan, lumayan buat anak-anak sama suami ibu.” Ajak perempuan itu kepada ibu.

Setelah diajak, ibu masuk kedalam rumah untuk mengambil kerudung, dia mengiyakan ajakan temannya itu tanpa berpikir panjang.

“jang ibu kerumah bu irma dulu yah.”

Mendengar ucapan ibu sontak saya kaget. Melemparkan komik yang sedang saya baca kemudian berlari menghampiri ibu. Saya mengguncang-guncangkan tubuh ibu sambil menyuruhnya untuk istigfar agar tersadar.

“kenapa ai kamu ?” ucap ibu melihat tindakan saya.

“ibu ga sadar, bu irma siapa ? ibu irma temen ibu pengajian itu ? dia sudah meninggal bu. Sekarang kan 40 hariannya.” Mendengar ucapan saya ibu langsung tergolek lemas, tubuhnya menggigil seperti kedinginan.

saya berlari kehalaman karena penasaran, dan disana tak ada siapapun. Jadi dengan siapa ibu berbincang tadi.
Ketika bapak datang saya menceritakan semuanya, bapak tampak geram namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut bapak kalau saja waktu itu ibu ikut dengan jelmaan perempuan yang mirip dengan temannya itu, mungkin ibu akan hilang atau disesatkan dijalan. Persis kejadian seperti teh Maryah, tempo dulu. Sejak kejadian itu ibu saya sakit, semua aktivitas harian, saya dan kedua adik saya yang masih kecil yang mengerjakan. Bapak jarang tidur dimalam hari, dia selalu berjaga dan keliling rumah. Siang hari bapak juga tidur hanya beberapa jam, karena ada sawah dan kebun yang harus dia urus juga.

Dua hari semenjak ibu sakit, tepat jam 3 sore kang Asep datang kerumah. Bapak yang baru pulang dari sawah, langsung mengajaknya berbincang diruang tamu. Saya menduga mungkin kang Asep hanya main saja, karena semenjak teh Ratih sembuh dia belum pernah datang kerumah saya lagi.

“istri saya baru-baru ini kena terror lagi pak. Saya sudah cape sebenarnya dengan hal-hal seperti ini. Tapi orang yang mengganggu saya ini tampak tidak puas dan terus ingin mencelakakan keluarga saya.” Ucap mas asep,

saya mendengarkan samar-samar dari ruang tengah sambil menonton tv.
Dari obrolan yang saya dengar, kang Asep ingin meminta bantuan bapak lagi. Saya belum tahu spesifik apa yang sebenarnya terror yang dimaksud disini. Apakah istrinya kang Asep kumat lagi seperti dulu.

“terror gimana sep ?” bapak saya bertanya.

Karena tertarik saya kecilkan volume tv, agar suara obrolan lebih terdengar. Kang Asep mulai bercerita tentang istrinya. Waktu itu Teh Ratih sedang sendiri dirumah, karena memang kang Asep sering berpergian untuk mengantar dagangannya. Ketika teh Ratih selesai sholat isya dia mendengar suara ledakan seperti suara petasan persis diluar kamarnya. Mungkin karena penasaran teh ratih membuka gorden jendela kamar, teh ratih kaget bukan kepalang ketika melihat bayangan seorang pria besar didepan matanya. Dia tak melihat sosok pria itu secara utuh hanya meilhat bayangan hitamnya saja.
T
eh Ratih ketakutan, dia hendak menelpon suaminya. Namun belum teleponnya tersambung, gangguan itu datang lagi. Kini terdengar suara langkah kaki seperti orang berlari. Suara itu amat jelas bahkan teh Ratih bisa merasakan getarannya. Suara lari itu seperti mengelilingi rumahnya, mungkin kalau dihitung suara itu sekitar 6 putaran, teh ratih tak bisa memastikannya karena dia terlanjur ketakutan.

kang Asep tak bisa pulang, karena dia baru setengah jalan mengantar nanas ke daerah purwakarta langganannya. Maka kang asep menyuruh teh Ratih untuk pergi kerumah tetangganya. Karena rumah ibu teh ratih beda kecamatan dan sangat jauh tidak mungkin kang Asep tega menelpon mertuanya itu untuk menemani istrinya.

Teh ratih ingin keluar untuk meminta bantuan, tapi bayangan hitam itu tampak sedang menunggu diluar. Tak ada yang bisa dilakukan teh ratih kecuali menangis ketakutan. Teh Ratih mencoba berteriak meminta tolong, bahkan ia sangat keras berteriak, namun anehnya tak ada satu orangpun yang datang menghampirinya. Sepertinya kekuatan gaib telah meredam suara teh ratih agar tidak terdengar orang-orang, atau bagaimana saya tak mengerti cara kerja si pelaku santet.

Teh ratih pergi kedalam kamarnya dan dia sembunyi dikolong ranjang, untuk mengusir rasa takutnya. Tapi tiba-tiba dari jendela kamarnya, terdengar suara pelan perempuan. Suara itu begitu halus namun lirih seperti orang kesakitan. “Ratih..Ratih…Ratih…” suara itu terdengar berulang-ulang memanggil nama teh Ratih.
Teh Ratih yang semakin ketakutan dia mencoba menutup telinganya dengan telapak tangan, tapi suara wanita lirih yang awalnya pelan, kini dia terdengar marah. Suara tersebut menggelegar memanggil-manggil nama teh ratih. Suara teriakan perempuan itu dibarengi dengan suara gebrakan tangan yang memukul-mukul kaca jendela.

“astagfiruloh..astagfiruloh..astagfirlohh.” hanya istigfar yang keluar dari mulut teh ratih untuk menghilangkan ketakutannya.

“buka pintu ratihhh!!, keluar kau ratihh!!!” teriak suara perempuan dibalik kaca jendela kamar, yang sosoknya tak terlihat oleh teh ratih.

Ketika kang Asep pulang sekitar jam 3 pagi bersama temannya, merasa curiga karena teh ratih tidak merespon saat pintu diketok-ketok bahkan saat ditelpon pun tidak ada jawaban, tapi suara hp teh ratih didalam rumah terdengar oleh kang Asep. sekitar satu jam tidak ada jawaban juga, kang Asep yang merasa curiga dan khawatir akhirnya mendobrak pintu rumah.

Teh Ratih ditemukan dibawah ranjang dalam keadaan tidak sadar. Tubuhnya dingin dengan wajah pucat bercucuran air mata. Bahkan mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan istigfar berkali-kali. Kang asep mencoba menyadarkannya mulai dengan mengguncang-guncangkan tubuhnya, menyiram wajahnya dengan cipratan air, bahkan sampai menampar pipi istrinya itu supaya tersadar.

Mendengar cerita kang Asep, bapak menghela nafas. Entah apa yang harus ia katakan sekarang, tapi bapak tidak meceritakan sedikitpun tentang kejadian ibu yang mengalami terror sama seperti teh Ratih. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya bapak berkata kepada kang Asep bahwa dia tidak bisa lagi membantu kang Asep. kondisi ibu yang sakit dijadikan alasan bapak untuk menolak secara halus kang Asep.

“tolong sekali pa, saya bingung. Saya tidak mengerti hal-hal seperti ini, Cuma bapak harapan saya satu-satunya.” Ucap mas asep dengan nada memohon, matanya tampak berkaca-kaca.

Keputusan bapak sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Saya mengerti sebenarnya alasan bapak menolak kang Asep. yang awalnya bapak kira hanya niat menolong saja, sekarang imbasnya malah kepada keluarga kami. Mungkin bapak sadar dia terlalu jauh ikut campur urusan orang.

Mas asep tidak bisa memaksa keputusan bapak, akhirnya dia pulang dengan tangan hampa. Dari wajahnya kang Asep tampak kecewa, marah mungkin. Tapi saya tak tahu rasa marah dan kesalnya itu ditujukan untuk siapa. Apa kepada bapak yang tidak bisa membantunya lagi atau pada pelaku santet yang telah mengganggu hidupnya itu, saya tak tahu.

Seminggu berlalu, Sedikit demi sedikit ibu saya mulai pulih, beraktifitas seperti biasa. Tapi sepertinya bapak tidak diberi nafas sedikitpun untuk berleha-leha, baru saja dia pulang sholat magrib dari masjid , kang Asep datang lagi kerumah saya. Kali ini dia menangis, bahkan memeluk bapak saya. Dia memohon-mohon agar bapak mau datang kerumah dan membantu istrinya.

Melihat kelakukan kang Asep yang tidak seperti biasanya, menarik perhatian keluarga saya. Disitu ada ibu dan kedua adik saya yang ikut berkumpul di ruang tamu menyaksikan kang Asep yang menangis. Tak tega saya melihat kang asep, bahkan ketika saya melihat ibu matanya ikut berkaca-kaca.

Setelah merasa tenang, dan minum air putih kang Asep mulai bercerita kepada bapak dan juga mungkin kami yang mendengarkan disana. Seminggu yang lalu setelah pulang dari sini, kang asep bergegas mencari orang pintar. Berdasarkan rekomendasi temannya akhirnya ia mendapatkan seorang paranormal, yang berasal dari luar kota subang. Yang tidak akan saya sebutkan kotanya, demi kebaikan bersama agar tidak ada yang tersinggung. Menurut kang Asep si paranormal tersebut datang kerumahnya untuk mengobati teh Ratih dan juga memasang pagar ghoib untuk rumah kang asep agar tidak didatangi lagi makhluk-makhluk aneh. Bahkan menurut kang asep dia membeli semacam keris kecil yang maharnya sangat mahal. demi kebaikan keluarganya waktu itu kang asep tidak memikirkan masalah uang, walaupun ia harus mencatut modal usahanya.

Sekedar info mahar itu menurut sepengetahuan saya, adalah harga untuk membeli barang-barang mistis atau semacam benda pusaka. Jadi dalam istilahnya proses pemindah tanganan benda pusaka disebutnya ijab kabul, karena pamali katanya kalau menggunakan istilah jual beli.

Tapi tak ada reaksi, teh ratih tetap saja diganggu. Bahkan kejadian terakhir menurut kang Asep teh ratih hampir saja tewas disumur belakang rumahnya. Sekarang kang Asep benar-benar kebingungan, uangnnya telah menipis dia tak sanggup lagi mencari paranormal untuk membantunya.

“jadi saya sangat minta tolong sama bapak, saya mohon sekali pak.” Ucap kang asep.

Bapak tampak kebingungan. dia ingin sekali membantu kang asep sepertinya, tapi takut terror kembali berbalik ke keluarga kami. Tidak ada alasan lagi sekarang untuk menolak kang Asep secara halus, bapak masih diam entah apa yang dia pikirkan.

“atau kalau bapak tidak mau membantu, tolong sebutkan saja siapa yang melakukan ini pada keluarga saya pak ? saya akan labrak orang tak tahu diri itu.” Ucap kang Asep tampak geram.

“apa yang terjadi disumur belakang rumahmu sep. yang kamu maksud hampir saja menewaskan istrimu itu ?” entah sedang mengalihkan pembicaraan atau mencari bahan pertimbangan tiba-tiba bapak berkata seperti itu.

0 komentar

Posting Komentar