Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 6

Malam semakin larut, saya dan keluarga Kang Asep semakin penasaran dengan kisah Bapak waktu muda. ditemani segelas kopi dan singkong rebus sebagai cemilan, bapak melanjutkan kisahnya. Saya tahu maksud bapak menceritakan kisah mudanya dulu, mungkin untuk memberi pelajaran kepada kang Asep, atau mungkin hanya untuk menenangkannya agar Kang Asep tidak menaruh dendam kepada pelaku santet istrinya. Bapak bukan tipe ditaktor, dia tak pernah menggurui orang, termasuk saat memberi tahu saya tentang pelajaran hidup. Dia lebih suka menceritakan sebuah kisah dan membiarkan yang mendengar mencernanya sendiri. Karena menurut bapak sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah pada diri sendiri, Lingkungan atau bagi anak cucunya dimasa mendatang, maka dari itu kenapa ada istilah “pengalaman adalah guru yang terbaik” begitu menurut bapak.

“lalu apa yang terjadi pada istri kang Solihin selanjutnya pak ?” saya semakin penasaran.

Pak lurah memerintahkan warga untuk melakukan pencarian. Sebagian warga yang tidak setuju dengan pak lurah mengajukan usulan kenapa tidak besok pagi saja mengingat ini sudah hampir jam setengah dua malam. akhirnya warga terbelah dua, ada yang pulang karena mungkin besok harus bekerja diladang, ada yang peduli dan mau untuk ikut mencari teh Maryah. Pak lurah tidak bisa berkata apa-apa dia juga harus menghormati
pendapat warganya, tapi setidaknya masih ada warga yang mau ikut membantu kang solihin.

Bapak dan kakek saya termasuk kedalam warga yang ingin ikut mencari teh waryah. Kata bapak warga yang waktu itu ikut bersama pak lurah untuk menyusul teh Maryah berjumlah sekitar 21 orang.

Setelah rapat, pak lurah memutuskan untuk melakukan pencarian disekitaran sungai. Warga yang sudah siap dengan peralatan dapurnya berkumpul dibalai desa. Konon katanya kalau ada orang yang hilang malam-malam, saat mencari warga biasanya sambil memukul-mukul alat dapur tersebut, bisa panci atau wajan. Bunyi itu dipercaya bisa untuk mengusir makhluk jejadian, biasanya sih praktek ini dilakukan untuk mencari anak yang hilang karena dibawa wewe gombel. Tapi karena kita tak tahu apa yang terjadi pada teh Maryah maka tidak ada salahnya dengan mencoba cara yang sama.

Sebelum berangkat pak lurah memimpin doa. Kemudian pencarian dimulai, sebagian warga bertugas untuk memegang senter dan menjadi penunjuk jalan, sebagian lagi memukul-mukul alat dapur sambil memanggil-manggil nama teh Maryah.

“neng Maryah… neng Maryah.. neng Maryah.” Teriak warga, suaranya membahana berlomba dengan suara gemuruh air terjun dihulu sungai.

“dimana terakhir kali istirimu terlihat solihin ?” tanya salah satu warga.

“disitu, diatas batu itu, sebelum akhirnya dia pergi meloncat-loncat menuju ke hulu.” Jawab kang solihin.

Keadaan sungai benar-benar gelap gulita. salah satu warga yang berani, mencoba turun kesungai sambil membawa senter. Dia menyorotkan cahaya kearah hulu, namun nihil katanya tak melihat apapun selain gundukan batu. Salah satu warga ini berinisiatif untuk mencarinya dengan menelusuri sungai berjalan diatas batu menuju hulu, tapi pak lurah menghentikannya, terlalu bahaya, takut tergelincir dan terbawa arus. Bukannya menyelesaikan masalah keadaan malah tambah darurat saja katanya.

“jangan-jangan istrimu sudah hanyut.” Celetuk salah satu warga.

“huss, jangan begitu.” Bentak pak lurah.

“apa kita harus ke air terjun pa lurah ? saya ga mau kalau begitu.” Semua warga berhenti tiba-tiba dan mereka saling menatap satu sama lain ketika mendengar ucapan rekannya.

Air terjun didesa kami cukup tinggi, airnya juga cukup deras apalagi tadi sore habis hujan. Disekitar air terjun banyak pohon beringin berdiri. Kabar angin yang berselentingan tentang betapa angkernya tempat itu telah menciutkan nyali beberapa warga malam ini, termasuk pak lurah mungkin karena dia tidak berkomentar sama sekali.

“kang Toha aja duluan, akang kan udah biasa ngurusin mayat jadi pasti berani.” Kata salah satu warga kepada kakek saya.

Toha Cuma nama samaran, nama kakek saya yang sebenarnya saya rahasiakan. Waktu itu kakek saya masih menjadi muridnya dari syeh mayit yang lama dan belum diangkat. kakek saya masih muda jadi belum terlalu bijak dalam mengambil keputusan menurut bapak, hingga akhirnya dia menyerahkan semua keputusan kepada pak lurah saja.

Perdebatan berjalan alot, hingga akhirnya warga terbelah kembali menjadi dua kelompok. Kelompok yang ingin pulang karena tidak berani menuju air terjun malam-malam, dan kelompok yang sebenarnya tidak berani juga namun tak tega dengan kang Solihin, termasuk pak lurah dan kakek saya didalamnya. Sedangkan bapak saya pulang bersama warga lainnya.

“jadi bapak tak tahu apa yang terjadi malam itu di air terjun karena pulang ?” saya semakin antusias dengan cerita bapak, sepertinya yang lain juga. Karena kang Asep beserta istrinya tampak mendengarkan dengan serius.

Tidak begitu lama kacang rebus yang masih mengepulkan asap datang, disajikan mertua kang Asep sebagai teman dalam mendengarkan cerita bapak. Setelah menyeruput kopi beberapa kali bapak melanjutkan ceritanya.

Menurut cerita kakek kepada bapak, malam itu yang pergi ke air terjun berjumlah delapan orang. Ketika sampai di air terjum, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena suara teriakan teredam oleh gemuruhnya air. Lampu senter yang dibawa disorotkan kekiri dan kekanan, sebagian lagi menyingkab semak-semak untuk mencari keberadaan teh Maryah.

Menurut kakek, beberapa kali dia mendengar suara tangisan wanita. Tapi dia merasa tak yakin, karena disekitarnya berisik oleh suara air, dan juga rekan-rekan yang lain tampak anteng seperti tidak mendengar apa-apa. Entah kebetulan atau disengaja, ketika kakek saya menyorotkan lampu senternya kearah sungai seperti ada tangan yang melambai-lambai, mungkinkah itu teh Maryah yang tenggelam.

“astagfiruloh itu.. disungai..itu..itu.” teriak kakek saya panik.

Sontak semua warga termasuk pak lurah menyorotkan senternya kearah sungai yang ditunjuk-tunjuk oleh kakek saya. Namun ternyata nihil tidak ada apapun disana.

“ada apa kang toha ?”

“tadi saya melihat tangan muncul dari sungai dan melambai-lambai, mungkin itu si Maryah.” Jawab kakek saya.

Semua orang saling bertatapan dengan kebingungan. Bagaimana bisa orang melambaikan tangan diarus sungai yang begitu deras, seandainya pun tenggelam pasti sudah terbawa arus. Tapi untuk memastikan semua senter mengarah kearah sungai mencari-cari dimana keberadaan tangan yang dimaksud kakek saya. Hingga akhirnya kakek saya mendengar suara tangisan itu lagi ditelinganya.

“pak lurah denger sesuatu ga ?” tanya kakek saya.

“suara air maksud kang toha ? saya ga denger apapun selain gemuruh air.”

Dari situlah kakek tersadar, mungkin kabar selentingan tentang angkernya air terjun dimalam hari benar adanya. Untuk menjaga situasi tetap kondusif, kakek saya membisikan apa yang dialaminya kepada pak lurah, tentang suara wanita yang menangis dan terus berdengung ditelinganya. Pak lurah yang mendengar bisikan, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, bahkan beberapa kali dia menelan ludah.

“semuanya pencarian kita hentikan dulu, mengingat sudah lama kita disini dan belum ada hasil, besok kita lanjutkan lagi pagi-pagi”. Teriak pak lurah kepada warganya yang masih sibuk menyorotkan senter kesegala arah.

Pencarian teh maryah malam itu berakhir, begitu menurut bapak. Hingga akhirnya teh maryah ditemukan dua hari kemudian diatas pohon beringin persis disamping air terjun oleh anak kecil yang mau berenang disana, penemuan kembali teh Maryah itu sempat menggemparkan kampung.

Semenjak ditemukan hari itu keadaan teh Maryah tak pernah normal lagi, keadaannya persis seperti teh Ratih menurut bapak. Bahkan lebih parah, saat sedang kumat teh Maryah lebih gila lagi, dia suka berkeliaran seperti orang kebingungan. Tempat favoritnya kalau menghilang menurut bapak kalau tidak disungai, ya dihutan belakang kampung.

Teh Ratih masih beruntung bisa disembuhkan, berbeda dengan teh Maryah yang akhirnya menjadi gila, bahkan keluarganya yang cape karena terus menghilang memasungnya dibelakang dirumah. Hingga akhir hayatnya teh maryah tak pernah sembuh lagi.

“terus gimana dengan kang solihin pak ?” tanya saya karena penasaran.

“dia sempat masuk penjara, tapi belum ada kabar lagi tentangnya. Menurut kabar sih dulu setelah keluar penjara dia pergi keluar jawa. Entah ke sumatra, kalimantan atau entah kemana tak ada yang tahu.” Jawab bapak.

“lah koq bisa dipenjara ?” Akhirnya teh ratih tertarik juga dan ikut bertanya.

Menurut bapak ketika teh Maryah sakit, kang Solihin sibuk mencari paranormal untuk menyembuhkan istrinya. Hingga ia mendapatkan orang kepercayaan yang diyakini bisa menyembuhkan istrinya, mungkin karena kang Solihin masih muda dan egonya terlalu tinggi, selain menyembuhkan teh Maryah, ia malah menyuruh orang pintar kepercayaannya untuk menyantet balik si pelaku.

Hampir satu minggu kampung geger oleh suara dentuman seperti ledakan ditengah malam menurut beberapa warga yang mendengar. Bahkan warga yang ikut ronda , tak sengaja melihat bola api terbang. kabar itu sulit untuk diungkap karena hanya beberapa warga saja yang melihat. Tapi menurut kakek saya yang mempunyai sedikit ilmu kebatinan suara itu terjadi karena ada perang ilmu yang tak kasat mata.

Menurut bapak dia tidak tahu apa yang terjadi, apa mungkin si orang kepercayaan kang solihin ini kalah atau bagaimana. Yang pasti seminggu kemudian kang Solihin ngamuk-ngamuk sambil membawa golok kerumah salah satu warga dikampung bapak, yang tak lain adalah seorang paranormal juga. Dia hendak membunuh pria ini, untung beberapa warga menghalangi. Walaupun begitu, paranormal muda yang tak lain adalah masih kerabat pak lurah ini tak bisa luput dari bacokan golok kang Solihin. Tapi untungnya kerabat pak lurah ini berhasil diselamatkan.

Kang solihin yakin bahwa pria muda ini adalah pelaku penyantetan istrinya, namun karena hal-hal gaib sulit untuk dibuktikan dipersidangan, eh malah kang solihin yang masuk penjara dengan tuduhan percobaan pembunuhan.
Begitu mendengar akhir kisah bapak, kami semua diam. Untunglah hal mengerikan itu kini tinggal kenangan.Waktu menunjukan jam 11 malam, tiba-tiba saya teringat ucapan bapak bahwa sejarah hidup akan selalu terulang entah menimpa siapapun diluar sana. Hingga saya menatap kang Asep dengan penuh tanda tanya…

0 komentar

Posting Komentar