Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 11

ketika hendak berbicara ki merah mengajak bapak saya keruangannya, kata dia sebaiknya ini dibicarakan empat mata saja, sial padahal saya sangat penasaran. Sementara bapak pergi kedalam dengan ki merah, saya menuggu diruang tamu sambil ngemil keripik pisang. Saya kira ki merah bakal seperti di film-film horror, bengis dan juga congkak, tapi sikapnya sama saja seperti orang pada umumnya. Malah bisa dibilang ramah, apalagi istrinya yang sudah menyajikan cemilan ini.

Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, bapak saya kembali bersama ki merah. Mereka langsung duduk dikursi seperti semula. Terlihat ada ketegangan diwajah mereka, apa yang sebenarnya telah terjadi ? apa didalam tadi mereka bertengkar.

“jadi kalau bukan aki, apa ada orang lain ?” bapak mulai berbicara.

“aku mengaku memang sudah mengganggu keluarga si Asep, tapi sasaranku memanglah si Asep itu sendiri bukan istrinya. Malam itu aku mengirim dua demit untuk membawa jiwa si Asep, hanya untuk memberi pelajaran, aku bersumpah tidak ada sedikitpun niat untuk membunuhnya. Tapi yang kena malah istrinya, Karena terlanjut sudah terjadi, aku pikir bila istrinya menderita maka si Asep juga akan merana. Aku juga yang mengirim peliharaanku untuk menghalang-halangimu saat kamu hendak pergi membantu si Asep.” jawab ki merah.

Saya tiba-tiba jadi teringat kejadian dikebun teh, saat anjing hitam yang mau menerkam bapak. Jadi itu memang benar ulahnya ki merah.

“dan aki juga yang hendak berniat mencelakakan keluarga saya saat saya berhasil menyadarkan kembali si ratih ?” nada bapak mulai naik.

“aku memang mengirim peliharaanku untuk mengawasimu tapi tidak memerintahkannya untuk mengganggumu.”

“istri saya diterror ki, sampai dia jatuh sakit.”

“aku bersumpah demi apapun, hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengawasimu, bukan untuk mengganggumu. Aku mengawasimu hanya karena kagum padamu, soalnya orang biasa sepertimu bisa melakukan upacara jemput lelembut. Usiamu terlalu muda untuk menguasai ilmu semacam itu.” Ucap ki merah,
entah sebuah kebenaran atau ini hanya pembelaannya saja, saya tidak tahu.

Kemudian bapak menyuruh saya untuk menceritakan apa yang dialami ibu. Saya bercerita kepada ki merah tentang ibu yang melihat sosok wanita di kamar mandi, dan sosok lainnya yang menjelma menjadi teman ibu yang sudah meninggal.

“baiklah saya akan mempercayai aki kali ini, tapi saya mohon beritahu kemana aki membawa lagi ratih sekarang ?”

“apa maksudmu membawa lagi ratih ?” ki merah tampak terkejut.

Ki merah malam itu memang memerintahkan peliharaanya untuk mendatangi rumah kang Asep tapi untuk mengambil pocongan yang telah ia tanam dihalaman rumah. Dia tersadar bahwa perbuatannya salah, karena setelah melakukan perbuatan keji itu lagi, dia selalu dihantui bayang-bayang teh maryah.

“setiap malam, wajah maryah selalu menghantuiku. Saat tidur dia masuk dalam mimpiku, saat sedang diam dia masuk dalam ingatan, dan saat aku bekerjapun dia menyusup dalam bayang-bayang. Kini aku sadar ternyata balas dendam tak membuahkan kepuasaan tapi malah penyesalan.” Ucap ki merah.

Walaupun harus mengecewakan kliennya itu, ki merah mengambil resiko. Dia mengembalikan uang yang telah diberikan, walaupun niat awal ki merah membantu bukan karena uangnnya tapi lebih kepada alasannya. Kita tentu selalu ingat jika ada orang yang bernasib sama, kita seakan memiliki ikatan emosiol dengan orang tersebut, hingga kemudian menimbulkan rasa empati seperti mengkasihani diri sendiri.

Malam itu ki merah mengaku , dia telah berhenti urusannya dengan klien dan keluarga kang Asep. tidak ada lagi permainan, tidak ada lagi gangguan. Bahkan dia menyesal telah belajar ilmu seperti itu. Entah benar atau tidak ucapan yang dikatan ki merah itu, tapi dilihat dari wajahnya tampak sekali penyesalan yang sangat dalam. Kadang saya merasa kasihan, mungkin seumur hidupnya ki merah menderita dibayang-bayangin dosa masa lalunya.

“jadi anjing hitam yang dikejar ratih itu bukan atas perintah aki ?”

“sudah kubilang, aku hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengambil benda yang aku tanam, bukan untuk mengganggunya. Tapi kalau dia menggong-gong dan sekarang dikejar oleh istri si asep, aku tak tahu.” Jawab ki merah.

“Sosok seperti apa yang ibumu lihat ?” tanya ki merah kepadaku.

“Astagfiruloh”. Belum sempat aku menjawab pertanyaan ki merah, bapak sudah memotong.

Tiba-tiba saja bapak teringat dengan sosok wanita yang teh ratih lihat ketika bapak melakukan jemput lelembut. Deskripsi yang ibu sebutkan tentang sosok wanita tersebut sama persis dengan yang teh ratih ceritakan sebelumnya.bapak menepuk jidat, katanya jangan-jangan dia melakukan kesalahan. Bapak bilang mungkin ada arwah yang ikut dan menempel ke tubuh teh ratih saat dia diajak keluar.

Karena takut terjadi sesuatu dengan teh ratih, usai berbincang dengan ki merah bapak berpamitan untuk kembali kerumah kang Asep. bapak mengerti ki merah tidak mau lagi terlibat dengan urusan seperti ini, walaupun masih tanggung jawabnya karena telah memulai kekacauan ini. Ki merah meminta tolong kepada bapak untuk menyelesaikan masalah ini, dia siap untuk dimintai bantuan bila bapak membutuhkannya. tapi kalau harus terlibat secara langsung seperti sekarang, dia takut hanya akan menimbulkan masalah baru saja.

Saya dan bapak pergi kembali kerumah kang Asep, sesampainya disana dirumah kang Asep hanya ada ibu mertua dan adik iparnya saja. menurut adik iparnya, teh ratih masih belum ketemu, warga yang dipimpin pak lurah masih berusaha mencari. Terakhir katanya teh ratih terlihat pergi kearah pesawahan. Saya dan bapak segera menyusul setelah meminjam senter.

Suasana kampung benar-benar sepi, tapi untungnnya tidak terlalu gelap karena dilangit bulan terlihat sempurna. Dibawah bayang-bayang bulan yang terhalang pohon-pohon besar yang menjulang, saya dan bapak berjalan perlahan sambil mengarahkan senter kesemak-semak. Kami berniat menyusul rombongan pak lurah ke arah sawah.

Begitu kami keluar kampung dan berjalan menuju pesawahan, terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Saya dan bapak saling berpandangan, dari mana suara anjing itu berasal. Lolongan itu terdengar sekitar tiga kali, kemudian lenyap bersama angin malam.

“kenapa rombongan pak lurah tidak terlihat juga pak ?”

Bapak tidak menjawab pertanyaanku, mulutnya tampak komat-kamit, mungkin sedang melafalkan doa. Saya tidak bisa mengganggunya kalau bapak sedang begitu. Saya berkonsentrasi untuk berjalan dipematang sawah yang licin, angin sepoi-sepoi membuat bulu kuduk merinding. Pemandangan disekitar hanya terlihat beberapa orang-orangan sawah yang dipasang petani untuk mengusir burung, tapi jujur dalam samar-samar cahaya bulan sosok orang-orangan sawah yang tertiup angin tampak seperti manusia yang melambai-lambai dari kejauhan.

“ikut bapa jang.” Ucap bapa tiba-tiba.

Setelah kami berjalan cukup lama dan belum bertemu juga dengan rombongan pak lurah, saya berjalan mengikuti bapak menuju sebuah saung kecil ditengah sawah. Saya kira bapak hendak mengajak saya beristirahat, tapi begitu kami sampai beberapa meter lagi dari saung, terdengar suara lengkingan anjing yang amat lirih dan pelan.

Bapak mengarahkan senter kearah saung, tapi tidak terlihat apapun disana. Kami berjalan pelan sambil terus memperhatikan. Begitu cahaya senter bapak menyorot kearah kolong saung terlihat sesosok tubuh dengan rambut tergerai sedang jongkok membelakangi kami berdua. bapak mematikan lampu senternya, kami berdua jongkok sambil jalan perlahan. Rupanya sosok itu belum sadar dengan kedatangan kami berdua.

Saya mengira mungkin itu semacam makhluk jejadian yang baru keluar malam-malam. Maklum ini sudah mapir jam 10. atau mungkin itu arwah yang kebetulan sekelebat kami lihat, tapi begitu saya mendongkakan kepala, sosok itu masih terlihat disana.

Saya dan bapak masih tetap mengawasi, perlahan sosok itu merayap dari luar, kakinya nampak sedang menjepit sesuatu. Tapi begitu kami memperhatikan dengan seksama, tiba-tiba kepalanya berputar pelan, hingga akhirnya kami saling bertatapan.

Itu teh ratih dengan wajah menyeramkan, matanya melotot tajam kearah kami. karena sudah ketahuan kami beranjak berdiri. Tapi teh ratih masih jongkok, kakinya menjepit kepala anjing hitam. Terlihat baju daster yang ia kenakan robek dan ada bercak-bercak darah, di pahanya pun terlihat luka gores bekas cakaran kuku anjing.

“lepaskan anjing itu ratih.” Perintah bapak.

Namun teh ratih tidak menjawab, dia malah meludah kearah bapak. Kemudian teh ratih mengambil batu seukuran mangkok disampingnnya, dengan sekali ayunan keatas batu tersebut ia hantamkan ke kepala anjing yang ia jepit. Crattt ! seketika darah muncrat kemana-mana, wajah pucat teh ratih kini telah berlumur merah. Anjing itu tak langsung mati, masih terdengar nafasnya yang tersengal-sengal karena tenggorokannya terjepit. Hantaman kedua, ketiga terus diluncurkan, sampai terdengar suara remukan tulang.

Kepala anjing itu kini hancur berantakan, bahkan biji matanya terlepas keluar. Mulut moncongnya kini sudah tak berbentuk lagi. Giginya berserakan dengan daging gusi yang masih menempel. Sungguh saya syok melihat kejadian sadis tersebut didepan mata.

Walaupun wajah anjing itu sudah hancur, tapi teh ratih masih belum berhenti menghantamnya dengan batu. Saya dan bapak hanya berdoa melihat kelakuannya, sebenarnya kami hendak mencegah, tapi kalau salah malah kamilah yang akan menjadi sasaran hantaman batu selanjutnya.

Bukan hanya wajahnya, rambut teh ratih yang tergerai telah bercampur dengan cipratan darah, dan ceceran daging kecil yang menempel. Tidak tampak penyesalan diwajahnya, tapi sebaliknya dia tampak geram. Saya yang ketakutan kemudian mundur beberapa langkah, sedangkan bapak semakin maju mendekati teh ratih.

“hentikan ratih.” Perintah bapak.

Mendengar suara bapak perhatian teh ratih pada bangkai anjing itu teralihkan. Dengan batu yang masih ditangan sekarang teh ratih menatap bapak lekat-lekat. Tanpa pemberitahuan dahulu teh ratih langsung melemparkan batu ditangannya kearah bapak, melesat begitu cepat seperti batu itu terbuat dari busa, entah apa yang merasukinya hingga kekuatannya berlipat ganda.

Walaupun sempat menghindar, tapi lemparannya telak mengenai lutut kanan. Bapak saya jatuh terperosok dalam lumpur sawah. saya replek langsung mengampiri bapak, rasa takut pada teh ratih tiba-tiba saja hilang seketika, sungguh saya geram dan hendak membalas dendam dengan melemparkan kembali batu itu kapadanya.

Belum sempat saya membalas, teh ratih loncat kearah tiang penyangga saung. Dalam sekejap ia naik seperti monyet menuju atap. Menyaksikan semua itu, membuat tubuh saya mati rasa, ingin rasanya lari dan berteriak karena ketakutan, tapi yang terjadi lutut saya malah lemas dan tenggorokan saya terasa kosong taka da suara.
Teh ratih jongkok diatas atap saung, dengan rambut tergerai panjang dan muka berlumuran darah. Disinari cahaya bulan diatasnya, dia tertawa ngikik seperti kuntilanak.

“lihat merah, peliharaanmu sudah aku musnahkan, sebagai ganjaran karena tidak bisa menyelesaikan permintaan.” Kepala teh ratih mendongkak kelangit, kemudian ia tertawa ngikik lagi.

Untuk sesaat saya diam memaku menyaksikan kejadian mengerikan itu, hingga akhirnya saya tersadar dan segera menolong bapak yang masih berusaha berdiri sambil menahan sakit. luka dilutut bapak tidak terlalu parah, tampak darah segar mengucur dan dagingnya sedikit terkelupas.

Teh ratih kembali memperhatikan kami berdua, raut wajahnya berubah menjadi serius. “ jangan pernah ganggu urusanku, atau kuhancurkan kepalamu seperti anjing itu baik !!”.

Kemudian teh ratih meloncat ke pematang sawah, dia merayap dengan cepat seperti kadal. Entah akan pergi kemana, tapi dia pergi tanpa memperhatikan kami lagi. Dari kejauhan dia seperti tenggelam dalam kegelapan, suara gemuruh daun padi yang ditiup angin menjadi suara pengiring kepergian teh ratih, dan lambaian orang-orangan sawah seperti ucapan selamat tinggal.

Kalau saja kaki bapak sehat mungkin dia akan mengejarnya. Dengan luka yang masih menganga, saya membopong bapak kembali ke rumah kang Asep, katanya kita harus lapor pak lurah sebelum terjadi hal-hal yang lebih mengerikan pada teh ratih. Entah apa maksudnya dengan hal yang lebih mengerikan, karena saya tak bisa lagi membayangkan hal yang lebih mengerikan dari melihat pecahan kepala anjing didepan mata.

0 komentar

Posting Komentar