Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 13

Waktu terus berjalan menghapus kenangan lama dengan kenangan baru. Namun salah satu diantara kenangan-kenangan itu akan ada salah satu yang membekas dan menjadi penghuni tetap dalam ingatanmu.
Sore itu saya sedang duduk diteras rumah bersama bapak, menatap lembayung sore yang terlukis dilangit sembari menikmati kopi hitam buatan ibu. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengutarakan sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan sedari dulu.

“ pak sebenarnya apa yang dikatakan ki merah diruangannya kepada bapak ketika kita datang kerumahnya malam itu?” lalu bapak mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan saya.

Sekitar jam 9 malam, tiba-tiba terdengar suara ketukan. Ki merah yang sedang tertidurpun tersadar, dan segera membuka pintu. Terlihat sosok seorang lelaki tua sekitar umur lima puluhan atau enam puluhan berdiri diluar. Raut wajahnya tampak lelah, dengan suara yang berat pria tersebut mulai berbicara.

“4 tahun yang lalu saya memiliki seorang anak gadis, dia anak yang baik dan juga penurut. Seperti remaja pada umumnya Setelah lulus sma dia ingin pergi kerja ke kota. Datanglah seorang pemuda yang menawari pekerjaan, anak saya sangat antusias ketika ditawari kerja, begitu pula dengan saya yang juga ikut senang bila anak saya senang.” Ucap pria tersebut kepada ki merah.

“Akhirnya anak saya bekerja, walaupun bukan dikantoran, hanya disebuah restoran tapi bagi anak saya itu tidak apa-apa. Aki masih ingat dengan pemuda yang telah berjasa mencarikan pekerjaan untuk anak saya ? ternyata dia memendam perasaan pada anak saya. Setiap pulang dari kota pemuda itu selalu mengantarnya, semua hal dia lakukan selayaknya seorang pemuda yang sedang kasmaran untuk menarik perhatian.” Lanjut pria tua tersebut.

“tapi saya tak menyangka, ternyata anak saya tak membalas perasaan pemuda tersebut. Karena anak saya memiliki perasaan pada lelaki lain, yang ternyata adalah temannya ditempat kerja. hingga akhirnya saya menyuruh pemuda yang anak saya taksir tersebut untuk datang melamar kerumah.”

“terus ?” ki merah tampak semakin penasaran.

“acara pertunangan telah dilakukan, saya dan pihak keluarga kekasih anak saya telah merencanakan tanggal pernikahan. Namun seminggu setelah pertunangan, kekasih anak saya datang kembali, dia hendak membatalkan pernikahan, saya tak tahu alasannya. Tentu saja hal tersebut membuat anak saya sakit hati, dan yang lebih menyakitkan bagi saya adalah kabar ini sudah menyebar kepada warga kampung, anak saya tak mau keluar rumah karena dia malu bertemu dengan orang. Tekanan dari omongan orang-orang dan sakit hati karena telah dicampakan tak bisa lagi ditahan oleh anak saya, hingga akhirnya ketika saya pulang dari sawah.” pria tua itu mengeluarkan air mata, seperti tercekak ditenggorokannya dia menahan omongannya.

“jasad anak saya sudah tergantung.” Seperti mengingat kenangan lama, pria tua itu kini menangis tak bisa lagi menahan emosinya.

“seminggu setelah kematian anak saya, seorang pemuda datang untuk meminta maaf. Katanya dia tak menyangka perbuatan isengnnya akan berakhir seperti ini.”

“siapa pemuda itu?” tanya ki merah

“pemuda yang cintanya ditolak sama anak saya itu ki, awalnya saya tak terima dan sangat marah sekali. Tapi saya berpikir ulang, mungkin ini sudah kehendak tuhan. Saya memaafkannya walaupun dengan berat hati.”

“lalu apa tujuanmu datang kemari ?” tanya ki merah lagi.

“ walaupun saya sudah memaafkan dan mencoba melupakan, namun nyatanya tidak dengan orang-orang. Mereka terus membicarakan dan membuat dugaan-dugaan yang tak berdasar. Kabar kematian dan gagalnya pernikahan anak saya seperti sebuah cerita legenda yang terus menyebar dari mulut-kemulut dengan bumbu yang luar biasa pedas. Ada yang menuduh bahwa pernikahan anak saya batal karena calon suaminya sudah memiliki istri, ada yang menuduh bahwa anak saya Cuma korban birahi lelaki kota saja, dan segudang dugaan-dugaan lainnya yang mereka ciptakan dengan dasar imajinasi.”

“saya sudah tidak tahan lagi ki, selama tiga tahun hidup dengan lirikan dan tuduhan orang. Hingga rasa dendam yang sudah saya coba kubur dalam-dalam ini ternyata tak bisa saya sembunyikan lagi. Saya ingin pemuda itu merasakan apa yang anak saya rasakan, bahkan sampai mati.” Lanjut pria tua itu.

“siapa yang memberitahumu bahwa aku bisa membantumu ?” tanya ki merah lagi.

“waktu saya masih muda, kisah aki dan keluarga maryah sampai ke kampung saya ki.”

“ohh, jadi kabar kalau aku menyantet maryah telah menyebar kemana-mana.” Ucap ki merah dengan wajah terlihat kesal.

“seperti yang sudah saya bilang ki, kabar buruk seperti legenda yang akan disebarkan dari mulut-ke mulut oleh orang-orang.”

“mereka tak penah tahu alasanku melakukan itu kepada maryah, hanya melemparkan tuduhan yang tak berdasarkan seperti yang kau ucapkan. Sama seperti tuduhan yang mereka arahkan kepada anakmu.”
“saya tak punya alasan lagi untuk hidup ki. Usia saya sudah tua, penerus saya sudah lebih dulu pergi ke surga. saya ingin mati dengan tenang tanpa harus menyimpan rasa dendam.”

Malam itu sebuah kesepakatan terjadi, ki merah bersedia membantu. Walaupun pria tua tersebut menyerahkan sejumlah uang yang ia bungkus dalam amplop coklat. Tapi lebih dari sekedar imbalan ki merah mempunyai motivasi lain dibalik semua itu.

“siapa nama pria itu ?” tanya ki merah.

“Asep ki.”

Begitulah jawaban yang bapak berikan sore itu, terdengar seperti sebuah dongeng untuk cerita nyata yang pernah terjadi. Saya tak tahu lagi kabar kang Asep setelah istrinya sembuh seperti apa, terakhir dia datang kerumah hanya mengucapkan terima kasih sambil membawa sekeranjang buah. Sementara kabar ki merah semenjak kejadian itu citranya semakin buruk di masyarakat, dan sudah jarang tamu yang datang dari kota kerumahnya.

Arwah wanita yang saya lihat pas kejadian dirumah pak bulbul entah bagaimana nasibnya, apa dia telah pergi kealam baka, atau masih penasaran dan berkeliaran. Atau jangan-jangan dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali melampiaskan dendam, saya tak pernah tahu. Dunia pergaiban tentu saja berada diluar kuasa dan pengetahuan saya.

Bapak selalu bilang sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah kepada dirinya, keturunannya atau pada orang disekitarnya. Mungkin saya bisa belajar dari pengalaman hidup yang pernah saya lalui ini, tapi saya tak mengerti bagian mana yang harus saya pelajari, maka saya memutuskan untuk bertanya kepada bapak.

“pak apa pelajaran hidup yang bisa saya ambil dari kejadian ini ?”

Seperti sifat bapak yang tak mau menggurui, dia bukan menjawabnya secara langsung tapi malah dengan sebuah cerita, setelah menyeruput kopi hangat bapak mulai berbicara.

Seorang pria yang sedang bekerja diladang tiba-tiba saja mendapat kabar dari temannya bahwa anaknya sakit parah. Dengan tergesa-gesa tanpa membasuh dulu kotoran lumpur dalam tubuhnya dia menyalakan motor bebek yang dibawanya, dia memacu kendaraannya dengan kencang membawa perasaan was-was karena takut terjadi sesuatu dengan anaknya.

Brakkk!! Tanpa diduga disebuah kelokan dia menabrak seorang pria. Warga yang melihat kejadian itu geram dan langsung menghakiminya.

“makanya kalau bawa motor jangan ngebut-ngebut.” Teriak salah satu warga sambil melayangkan pukulannya bertubi-tubi.

Pria yang ditabrak itu akhirnya tewas, karena mengeluarkan banyak darah dari kepalanya. Melihat korbannya mati, warga semakin geram dan membabi-buta menghakimi, hingga akhirnya pria yang membawa motor bebek itu juga ikut tewas.

Hari itu ada dua mayat yang tergeletak dijalan, ada dua perempuan yang telah menjadi janda, dan ada dua anak yang telah menjadi yatim. Namun ada puluhan warga yang mencuci tangannya disungai karena terkena cipratan darah.

“hah, maksudnya apa pak ?” saya kebingungan setelah selesai mendengar cerita bapak.

Tapi bapak malah berlalu masuk kedalam rumah meninggalkan saya sendiri yang masih kebingungan, hingga akhirnya adzan magrib berkumandang.

~TAMAT~

0 komentar

Posting Komentar