Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 5

Teh Ratih kebingungan, dia mau teriak tapi takut karena dihutan itu ga ada siapa-siapa. Mau jalan takut tersesat. Akhirnya dia memutuskan untuk diam diatas andong. Kini pikiran teh Ratih tak lagi fokus pada kabar kematian suaminya, ia sekarang malah bersedih karena ga bisa pulang. Selama menunggu itu menurut teh Ratih beberapa kali dia mendengar suara ramai orang lagi baca yasinan, tapi tak tahu arahnya dari mana yang pasti suara itu berdengung ditelinganya. Mungkin karena selama teh Ratih sakit, kang Asep beberapa kali mengadakan pengajian rutin dirumah.

Karena saya penasaran, maka bertanya berapa lama dan apa saja yang dilakukan teh Ratih waktu itu. Dia bercerita ketika sedang duduk diatas andong, dia didatangi seorang perempuan. Dia tak bisa memastikan wajahnya, tapi wanita itu mengenakan kebaya dan kerudung tapi rambutnya tergerai kedepan. samar-samar dia bisa melihat matanya yang bulat menatap tajam kearahnya.

“siapa dia teh ?” saya melanjutkan pertanyaan.

Teh Ratih menjawab bahwa wanita itu hanya muncul kadang-kadang, mula-mulai hanya kepalanya saja yang terlihat sedang mengintip dibalik pohon. Kemudian sedikit demi sedikit dia mulai berani menampakan diri. Tapi dia tak pernah mau dekat, jaraknya sekitar beberapa meter dari tempat teh Ratih duduk.

“kenapa teteh tak bertanya atau menghampirinya ?” saya masih belum puas dengan jawaban teh Ratih.

“coba kamu bayangkan, saya duduk di hutan. Gelap gulita, sinar hanya berasal dari lampu kelenting itupun redup karena tertiup angin. Bahkan saya berusaha menjaga apinya agar tidak padam. Kemudian ada seorang perempuan yang memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan yang menakutkan. Memangnya kamu bakal berani menghampiri lalu bertanya siapa dia ?”

Jawaban teh ratih membuat tubuh saya merinding. Berada ditengah kebun teh saja waktu dicegat anjing hitam kemarin hampir membuat saya kencing dicelana, apalagi teh Ratih sendirian dihutan.

Tempat teh Ratih tersesat juga saya tanyakan apakah benar-benar hutan, dia menjawab tak tahu juga, yang pasti tempat dimana teh Ratih berada banyak pohon-pohon besar berdiri dan dia berada ditengah jalan lebar yang membentang, tapi bukan jalanan aspal. Dia memastikan itu jalanan tanah, seperti tanah liat, soalnya saat dia turun dari andong, kakinya kotor oleh lumpur.

Kata bapak untung teh ratih ga keliaran, soalnya kalau dia turun dan masuk kedalam hutan, pencarian bapak ga bakal secepat ini. Bahkan yang paling mengerikan mungkin teh Ratih ga bakal ditemukan, dia akan tersesat selamanya.

Menurut bapak ini cara paling sadis dalam mencelakakan orang, soalnya kalau hanya sekedar kirim paku, muntah darah atau bahkan sakit kepala, medianya hanya menggunakan boneka dan itu cara paling kasar, masih bisa dilihat dengan kasat mata. Tapi kalau sudah sampai menarik sukma dan menggantinya dengan siluman, itu cara paling halus tapi mematikan.

“berapa lama teh Ratih disana ?” saya masih penasaran.

“saya tak tahu, tapi mungkin tidak sampai sehari. Soalnya selama disana, hutan tetap gelap gulita. Hingga akhirnya saya melihat bapak, awalnya saya pikir bapak orang jahat yang hendak mencelakakan saya. Sampai akhirnya saya merasa yakin karena terdengar suara ibu samar-samar memanggil nama saya.”

Gila pikir saya, teh ratih sakit sudah hampir satu bulan lebih, tapi dia disana tidak sampai satu malam. saya ingin menanyakan perbedaan waktu ini kepada bapak, tapi rasanya waktunya tidak tepat jadi saya urungkan niat, kapan-kapan saja.

“oh iya pak mengenai wanita yang selalu memperhatikan saya itu siapa yah ?” tanya teh Ratih kepada bapak, mungkin dia juga penasaran.

Tapi bapak menjawab sewaktu menjemput teh Ratih, dia tak melihat apapun. Itu bisa siapa saja, tapi bapak bilang tak penting lagi, yang penting sekarang teh Ratih sudah sembuh. Bapak berpesan agar nanti sebelum tidur berdoa dulu, bisa alfatihah atau bahkan bismilah juga tidak apa-apa. Setidaknya ada penjagaan, bila ada hal-hal aneh kita bisa tersadar.

Dua orang pria yang menjemput teh ratih itu adalah suruhan kata bapak, mereka ditugaskan untuk menjemput sukma teh Ratih. Mendengar keterangan bapak teh Ratih baru sadar bahwa saat dia bangun dan membuka pintu itu ternyata hanya sukmanya saja, sedangkan jasadnya masih terbujur ditempat tidur, saat itulah siluman suruhan masuk menggantikannya.

“pak apa bapak bisa untuk membalikan santet ini, agar dikembalikan kepada yang mengirim, hanya sekedar untuk ngasih pelajaran saja ?” kata kang Asep.

Mendengar perkataan kang Asep, bapak merasa kaget atau mungkin marah. Saya tahu ekspresi bapak kalau sedang menahan kesal atau marah saat sedang dirumah. Tapi bapak tidak menunjukan kemarahannya, dia lebih memilih diam dan menarik nafas dalam-dalam. Saya juga sedikit aneh mendengar kata-kata kang asep, koq kesannya kang Asep seperti menyuruh bapak untuk menyantet orang.

“huss. Ga boleh gitu sep. sukur alhamdulilah istrimu sudah sembuh juga. Ga usah macam-macam dan nyari perkara lagi.” Jawab mertua kang Asep.

“takutnya kalau ga dikasih pelajaran, orang yang mencelakakan saya ini ga kapok dan bakal berulah lagi.” Sepertinya kang Asep ngotot sekali.

Untuk mencairkan suasana, bapa bercerita tentang kisah serupa seperti yang dialami hari ini. Kejadian ini ketika dia masih remaja katanya. Waktu itu ada salah satu tetangga bapak mengalami hal yang sama seperti teh Ratih, bahkan lebih parah. Mari kita sebut saja tetangga bapak ini teh Maryah.

Teh Maryah ini kondisinya sama seperti teh Ratih kalau sedang kumat, tapi parahnya lagi Teh Maryah suka berkeliaran dihutan, jadi dulu dibelakang kampung kami itu masih ada hutan liar sebelum akhirnya hutan tersebut dibuka pemerintah untuk dijadikan perkebunan teh seperti sekarang.

Bapak masih ingat, sekitar tengah malam kalau ga salah, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari bale desa. Orang-orang ribut dan berbondong-bondong keluar rumah untuk menghampiri kearah sumber suara. Biasanya kentongan hanya dibunyikan kalau dalam keadaan darurat saja, kalau ada maling atau terjadi bencana. Maklum dulu gunung tangkuban perahu beberapa kali masuk dalam kondisi waspada, himbauan dari pemerintah.

“ ada apa kang ?” Bapak saya keluar rumah dan menanyakan apa yang terjadi, takut kalau-kalau gunung tangkuban perahu meletus.

“ga tahu, mungkin ada maling sapi lagi.” Jawab orang yang lewat kepada bapak.

Bapak yang masih remaja waktu itu bersama kakek saya ikut keluar untuk pergi ke balai desa, walaupun nenek menyuruh bapak untuk diam saja dirumah karena khawatir terjadi apa-apa. Tapi bapak saya persis seperti saya sekarang mempunyai rasa penasaran yang amat tinggi, atau mungkin waktu itu usianya yang masih remaja jadi rasa ingin tahunya sangat besar terhadap sesuatu.

Bapak saya datang ke bale desa bersama beberapa warga pria lainnya, disana sudah ada pak lurah dan suami teh Maryah. Beberapa warga yang belum tahu duduk perkaranya mulai berargumen macem-macem mulai dari ada yang kemalingan, ada yang meninggal sampe bilang ada teroris masuk kampung. Sampai akhirnya pak lurah menceritakan semuanya

Rumah pak lurah berdampingan dengan balai desa, biasanya yang membunyikan kentongan adalah warga yang ronda dengan seijin pak lurah. Tapi anehnya koq suara kentongan itu tiba-tiba sampai membangunkannya. Begitu pak lurah mengecek keluar rumah katanya dia melihat kang Solihin suaminya teh Maryah sedang memukul kentongan sambil menangis.

Kentongan kandung dipukul dan warga sudah terlanjur panik, maka kang Solihin yang masih terisak menjelaskan kepada kami semua kenapa dia bisa sampai memukul kentongan desa.

“saya sedang tidur lelap, tiba-tiba saya dibangunkan istri. Katanya dia minta dianter buat buang air besar, setelah itu saya mengantarnya ke sungai.” Ucap kang Solihin masih dalam keadaan terisak-isak.

Sekedar info pas jaman bapak saya dulu jarang warga yang mempunyai WC didalam rumah, hanya orang-orang kaya tertentu saja yang punya. segala aktivitas seperti mencuci, mandi dan buang air semua dilakukan di sungai, yang letaknya terpisah dari pemukiman. Sungainya cukup besar, ada batu-batu besar yang menjulang, tapi kalau musim hujan tiba batu-batu itu terendam karena air meluap. Dan juga dihulu ada air terjun yang cukup tinggi, sehingga dari hilir kita bisa mendengar suara gemuruh air terjun, kalau pada siang hari indah dan banyak anak-anak yang berenang disana, tapi kalau malam hari ga ada yang berani kecuali orang kebelet saja, begitu menurut bapak.

“saya suruh dia untuk jongkok dibatu pinggir saja, karena saya khawatir air sungai sedang meluap karena tadi sore hujan. Tapi dia menolak, takutnya ada orang lewat katanya, saya kira sekarang masih jam 8. Maka saya mengijinkannya saja ketika dia mau maju ke batu yang berada di tengah sungai.” Kang Solihin melanjutkan ceritanya.

Gila pikir saya, kang solihin tidak sadar bahwa ini hampir jam satu malam. para warga mulai berpendapat macam-macam tanpa mendengar penjelasan kang Solihin sampai selesai, bahkan ada yang bertanya kepada kang Solihin apa istrinya hanyut disungai.

“saya tak bisa memastikan waktunya, tapi saya rasa cukup lama, koq istri saya belum selesai-selesai. Saat saya menyorotkan lampu senter kearahnya dia memang masih terlihat jongkok diatas batu, saya panggil-panggil agar cepat-cepat, karena saya tidak kuat menahan kantuk. Tapi dia tetap tidak merespon.” Seperti tidak kuat kang solihin kembali menangis sejadi-jadinya.

“lah koq nangis, gimana istrimu solihin ?” warga yang tidak sabar mulai merasa kesal karena kang solohin malah nangis dan bukan menyelesaikan ceritanya.

Maka pak lurah turun tangan, karena sebelumnya kang solihin sudah menceritakan kejadian ini kepadanya. Menurut pak lurah teh Maryah tidak menengok saat dipanggil, kang Solihin memutuskan untuk mengambil batu kecil, lalu dilemparkanlah batu itu ke tubuh teh maryah, awalnya dia takut kalau teh Maryah ketiduran. Tapi tidak begitu lama teh maryah menengok kearah kang Solihin.

Namun ada yang aneh dengan istrinya kang solihin, saat menengok dia melihat muka seram bukan main, matanya melotot sempurna, wajahnya pucat pasi, rambutnya tergerai menutupi sebelah wajahnya dengan senyum misterius. Kang solihin langsung tersentak kaget dan juga takut tentunya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi menurut kang Solihin istirnya itu tertawa ngikik.

Karena ketakutan kang solihin terpaku diam menyaksikan istrinya yang berubah, hingga akhirnya teh Maryah meloncat-loncat diatas batu dia pergi menuju hulu, kearah air terjun.

0 komentar

Posting Komentar