Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 12

Saya tiba dirumah kang Asep, ternyata rombongan pak lurah sudah berkumpul disana. bapak menceritakan kejadian yang kami alami barusan kepada mereka. Setelah mencuci luka bapa dengan air hangat dan membungkusnya dengan kain, kami duduk dihalaman depan bermusyawarah mengenai tindakan yang akan selanjutnya dilakukan.

“sep, kalau kamu benar-benar sayang sama istrimu sebaiknya kamu berkata jujur. Apakah kamu punya urusan atau masalah dengan seseorang ?” tanya bapak kepada kang asep.

“urusan apa pak ? saya tetap curiga dengan si mardi. Dia pasti pelakunya.” Ucap kang Asep dengan nada marah.

“bukan, urusan dengan perempuan. seseorang yang sudah meninggal ?” lanjut bapak.

“perempuan, sudah meninggal.” Kang Asep berpikir sejenak, menyaring ingatan dengan kata kunci urusan, perempuan dan meninggal.

“seingat saya, saya tak pernah menyakiti orang pak” jawab kang Asep.

“ tidak menyakiti menurut kita belum tentu untuk orang lain. Kadang kita melakukan hal yang kita anggap biasa saja, tapi menurut orang itu menyakitkan. Coba diingat-ingat”

Semua orang disana memperhatikan wajah kang asep yang kebingungan, dia sedang berusaha mengingat kesalahan yang mungkin saja telah diperbuatnya. Tapi sepertinya sekeras apapun dia mencoba mengingat, memori itu belum ia dapatkan.

Ketika kami sedang berkumpul, tibat-tiba dari arah jalan terlihat seorang laki-laki tengah berlari menuju ke arah kami.
“pak lurah…pak lurah.. saya lihat ratih.” Teriak pria tersebut.

Kami semua kaget, terutama kang asep. warga langsung mengerumuni pria yang baru datang tersebut seraya bertanya apa maksud dari ucapannya. Saya tidak medengar dengan jelas karena sedang duduk bersama bapak tidak menghampiri. Tapi yang pasti warga termasuk pak lurah dan kang asep pergi mengikuti pria tersebut. Saya yang masih belum paham situasinya, diajak bapak untuk mengikuti mereka dari belakang.

Cukup lama saya dan bapak mengikuti rombongan, kami tiba disebuah kebun jagung, diujung sana ada satu rumah yang tampak mencolok. disinari lampu warna kuning dihalaman depannya tampak kontras ditengah kegelapan, karena tidak ada lagi rumah lain disekitarnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampak pria yang menuntun kami sedari tadi menunjuk-nunjuk rumah tersebut.

Semakin kami berjalan mendekati rumah itu, samar-samar terdengar suara tangisan perempuan. semakin kami dekat lagi, suara itu semakin terdengar jelas. Dan menurut kang Asep itu adalah suara tangisan teh ratih. Saya tak tahu rumah siapa itu, tapi begitu kami mendekat, kang asep berlari dengan segera disusul oleh beberapa warga.

Saya dan bapak masih berjalan pelan dibelakang, tapi begitu pintu rumah yang kami tuju dibuka, beberapa warga sontak berteriak karena kaget. Karena saya penasaran, saya berlari melihat apa yang terjadi, meninggalkan bapak sendirian.

Kaget bukan kepalang, sesosok tubuh pria tergantung dipintu kamar. Lehernya terikat seutas tali, mungkin pria itu bunuh diri. Jika kamu pernah melihat orang gantung diri, itu akan menjadi memori yang membekas dikepala seumur hidupmu. Wajahnya melotot dengan lidah terjulur, seperti ekspresi orang yang menahan sakit luar biasa.
Pria itu sudah tua mungkin umurnya sekitar lima puluh atau enam puluhan, mengenakan kaos oblong dan celana pendek, wajahnya terlihat biru dengan urat diwajahnya tampak jelas. Dan yang bikin lebih mencengangkan lagi, dibawah jasad yang tergantung itu terlihat teh ratih sedang menangis meraung-raung sambil memegang kaki si mayat.

“ratih..ratih apa yang kamu lakukan ?” ucap kang Asep, tapi dia tak berani mendekatinya.

Beberapa warga kebingungan termasuk saya, apa hubungan dari kejadian teh ratih dengan mayat yang tergantung ini. Sedangkan pak lurah langsung sibuk memerintah beberapa warganya untuk menghubungi rekan-rekannya, seperti ketua rt dan rw karena ada kejadian yang menggemparkan ini.

Mendengar teriakan kang Asep dan warga, teh ratih langsung berbalik badan. Dengan pipi dipenuhi air mata dia berteriak sekencang-kencangnnya sampai kami menutup telinga.

“Bangsaatt kau Asep, baikt !!” teriak teh ratih.

Beberapa warga mencoba menghampiri teh ratih untuk menenangkan, tapi belum sempat mendekat teh ratih berlari kearah dapur dan mengambil parang yang terselip di dinding bilik rumah.

“Kubunuh kalian semua hah.. setannn!!! Kubunuh kalian!!” teriak teh ratih sambil mengacung-ngacungkan parang.

Malam itu benar-benar membuat warga kampung kang Asep gempar. Tidak begitu lama para aparat desa bermunculan, diikuti beberapa warga baru yang mungkin penasaran. Sedangkan teh ratih masih mengamuk dibelakang rumah.

Setelah saya bertanya-tanya mengenai asal-usul jasad yang tergantung itu ternyata namanya adalah pak bulbul. Saya tak menanyakan lebih lanjut bagaimana riwayatnya sampai bisa dia nekat mengakhiri hidupnya.

“Turunkan saja, kasihan pak lurah.” Celetuk salah satu warga sambil menunjuk kearah jasad pa bulbul.

“waduhh saya bingung, ini harus lapor polisi dulu atau langsung diturunkan saja mayatnya.” Ucap pak lurah sambil garuk-garuk kepala. Mungkin ini kejadian untuk pertama kalinya ia alami selama menjabat jadi kepala desa.

Sedangkan bapak dan saya pergi kebelakang rumah untuk melihat teh ratih yang masih mengamuk. Kali ini teh ratih benar-benar sulit untuk ditenangkan, dengan jalan yang masih tertatih-tatih bapak maju kedepan, berhadap-hadapan langsung dengan teh ratih sementara warga yang lain menyaksikan dibelakang.

“katakan siapa dirimu dan apa yang kamu inginkan ?”

“tanya si keparat itu siapa aku.” Jawab teh ratih seraya menunjuk kang Asep.

“bisa kamu letakan dulu parangnnya, kita omongkan ini baik-baik.” Kata bapak.

“ hah, apa kau bilang, Baik-baik ? sementara bapaku mati gara-gara dia kamu bilang kita harus bicara baik.baik.”kata teh ratih dengan nada geram.

Ketika kami sedang bernegoisasi, dari kejauhan tampak seorang pria tengah berlari. Samar-samar aku mengenal sosok itu, dan ketika semakin mendekat saya jadi semakin yakin bahwa pria itu adalah ki merah.

“Iblis jahanam, kau membunuh peliharaanku. Keluar kau dari tubuh wanita itu hadapi aku.” Teriak ki merah dengan nada marah.

Malam itu benar-benar gempar, teh ratih yang dihadapi dua pria, bapak dan ki merah disaksikan warga kampung. Sedangkan pak lurah beserta aparaturnya sibuk mengurus mayat pak bulbul.

“kau juga ikut andil dalam kematian bapakku dukun sialan.” Ucap teh ratih ketika melihat ki merah.

Tanpa basa-basi teh ratih meloncat ke arah ki merah sembari menyabetkan parang yang dipegangnya. Untung ki merah mengelak dengan gesit, tapi teh ratih tambah kesal dan melancarkan serangan membabi buta. Dan diantara sabetannya yang bertubi-tubi itu akhirnya telak satu sabetan berhasil menghujam beberapa jari ki merah.

Cratt!! Darah muncrat ke tanah, diikuti 3 potong jari yang terlepas dari tangan ki merah. Begitu ki merah tersungkur dan teh ratih hendak meluncurkan sabetan selanjutnya yang mengarah ke kepala, bapa melepaskan tendangan ke tubuh teh ratih hingga ia terpental jauh.
T
eh ratih tambah geram, dia segera bangun dan langsung menyerang bapak dengan mengibas-ngibaskan parangnnya tanpa arah tujuan. Tapi belum sempat parang itu mendekati bapa, kini tendangan ki merah telak membuat tubuh teh ratih terpental kembali.

Mungkin karena tak tega melihat istrinya jadi bulan-bulanan kedua pria, kang Asep maju kedepan. Tiba-tiba saja tubuhnya ambruk, kang asep bersujud didepan teh ratih. Dia menangis sembari beberapa kali mengucapkan kata maaf.

“maafkan saya sari, maafkan.”

Mendengar ucapan kang Asep membuat saya sedikit kaget, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi raut wajah beberapa warga tampak biasa, seperti sudah mengetahui ada hal diantara kang Asep dengan sosok yang masuk dalam tubuh teh ratih tersebut.

“apa kau bilang maaf ? apa kata maaf bisa membayar semuanya.” Ucap teh ratih yang sudah sedikit tenang.

“apa yang kau inginkan sari, apa yang harus aku lakukan untuk menebusnya.”

Ketika teh ratih hendak mengayunkan parangnnya untuk menebas leher kang Asep. tiba-tiba ki merah meloncat menerkam tubuh teh ratih. Kemudian ki merah berteriak meminta bantuan warga untuk memegang teh ratih. Singkat cerita, teh ratih kini terikat pada pohon, walaupun tubuhnya terus meronta-ronta tapi ia tak kuasa membuka ikatan tali yang sangat kencang.

Saya kemudian membopong bapak kebelakang, tampaknya dia sudah lelah dan luka dilututnya kembali berdarah. Ki merah langsung mengambil alih dan melakukan pengusiran.

Ki merah mempunyai caranya sendiri untuk melawan sosok yang ada dalam tubuh teh ratih. Upacara pengusiran itu berjalan begitu alot, beberapa kali terdengar jerit kesakitan dari teh ratih, dan wajah ki merah dibanjiri keringat, belum lagi tangannya yang terus mengeluarkan darah.

Hinga akhirnya tubuh teh ratih tergolek lemas, sedangkan ki merah ambruk karena kehabisan tenaga. Teh ratih digendong untuk dibawa kerumah oleh kang Asep dan beberapa warga, sedangkan ki merah yang ambruk dibawa kerumah pak lurah untuk dimintai keterangan. Dan tubuh pak bul-bul yang masih membuat saya penasaran itu kini telah diturunkan, rencananya pak bul-bul akan dibawa ke rumah rt setempat untuk dikuburkan dengan layak.

Terdengar suara tahrim sebagai penanda tragedi mengerikan itu berakhir, semua warga kembali kerumahnya masing-masing. Saya dan bapak juga bersiap-siap untuk pulang, tapi begitu saya menengok kebelakang untuk melihat rumah pak bul-bul yang sudah sepi, saya melihat sosok perempuan yang sedang menangis dilawang pintu masuk, entah siapa perempuan itu karena wajahnya tertutup rambut. Perempuan itu menangis lirih, begitu saya bilang apa yang saya lihat kepada bapak. Bapak hanya berucap.

“biarkan dia sendiri jang.”

Malam itu malam terpanjang yang pernah saya lalui dalam hidup. begitu banyak darah yang terciprat, begitu banyak teriakan yang menyakitkan telinga, begitu banyak misteri yang belum saya mengerti.

0 komentar

Posting Komentar