Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 2

Saya dan bapak berangkat jam 9. Molor satu jam semenjak kang Asep menelpon karena menunggu bapak dikamar entah sedang ritual apa, mungkin sedang melafalkan doa-doa.

Dikampung saya jam 9 malam itu udah setara dengan jam 12 malam, karena seisi kampung sudah pada tidur. Tidak ada tempat hiburan, tidak ada pedagang dan tidak ada hingar bingar lampu jalanan seperti saat saya dibandung. Setelah ba’da isya biasanya sudah jarang orang yang keluar rumah, kalaupun ada hanya bila ada keperluan saja itupun beberapa orang. Para pemuda-pemudi pun hanya keluar atau main malam pas ada hajatan saja, seperti dangdut, wayang golek atau layar tancep. Mereka lebih memilih diam dirumah dan nonton tv. Kecuali bapak-bapak yang kebagian buat ronda, sekalipun sekarang ronda sudah jarang aktif lagi, paling banter siskamling diaktifkan lagi kalau sedang musim pencurian saja.

Saya mengeluarkan motor bebek, motor lama kesayangan bapak yang hobinya ngadat kalau kehujanan. Honda astrea legenda peninggalan jaman muda bapak yang masih tersisa. Ibu meminta ijin kepada bapak untuk ikut tidur dirumah tetangga mba waryah seorang janda, entah kenapa suasana rumah menjadi mencekam setelah mendapat telpon dari kang Asep. Ibu saya memang seorang penakut.

Sekedar info jarak antara kampung saya dengan kampungnya kang Asep itu sekitar 8 kilometer, kampung kami dipisahkan oleh perkebunan teh. Melewati jalan besar yang jelek maklum jalan-jalan diperkampungan jarang diperhatikan mengingat mungkin pemerintah menganggap bukan jalan utama yang terlalu ramai.

Sayangnnya kebun teh untuk bagian dalam atau dipelosok tidak seindah perkebunan teh dipinggir jalan raya. Seperti di ciater misalnya yang pemandangan kebun tehnya begitu indah karena seperti savana hijau. kebun teh bagian dalamnya, khusunya yang menghubungkan kampung kami ini ditanami pohon mahoni, sempur, dan berbagai jenis pohon lainnya. Memang teduh kalau pada siang hari, tapi kalau pada malam hari terasa horor melihat pohon-pohon besar itu berdiri.

Saya menyalakan motor dan membonceng Bapak, dengan bismilah kami berdua berangkat menuju rumah kang Asep. Walaupun kami masih melewati jalanan kampung tapi suasana sepi begitu menyelimuti, maklum didesa saya jarak antar rumah kerumah lumayan renggang tidak seperti dikota yang padat dan saling menempel antara tetangga. Tidak ada seorangpun yang kami temui dijalan, mungkin karena sudah larut dan orang-orang sudah terlelap dalam mimpinya.

“bapak memang sudah tahu rumahnya kang Asep ?” aku membuka obrolan untuk mengusir dinginnya malam, entah kenapa malam ini angin begitu kencang sehingga rasa dingin seperti menusuk tulang.

“nanti dia nunggu di pinggir jalan katanya.”

Setelah melewati jalan perkampungan, kemudian kami akan melewati perkebunan warga, yang didominasi oleh kebun nanas. Buah nanas memang menjadi komiditi disini, kalian pasti sudah tahu bahwa kota subang memang penghasil nanas.

Disetiap kebun nanas warga selalu menanam pohon bambu, karena pohon bambu sangat berguna disini selain bisa dibuat untuk pagar, tiang, dan anyaman. Bambu mudanya juga bisa dimakan. Bayangkan pemandangan pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi dimalam hari. Belum lagi ketika tertiup angin, pohon bambu ini akan bergoyang dan menghasilkan bunyi karena saling bergesekan. Tidak ketinggalan bunyi dari daunnya yang melambai-lambai seperti tangan dikegelapan. Belum lagi mitos didesa kami bahwa pohon bambu biasanya menjadi sarang atau tempat makhluk halus bersemayam.

Saya membawa motor dengan pelan, untuk menghindari jalanan yang berlubang. Tidak ada lampu jalan yang menerangi kami, hanya sebatas lampu depan motor yang menjadi petunjuk didepan. Keadaan benar-benar gelap, karena langit tampaknya mendung mau hujan karena tidak terlihat satu bintangpun.

Konstrentasi saya terpecah antara membawa motor dan perasaan takut yang yang tiba-tiba saja menyelimuti. Belum lagi dinginnya angin malam yang membuat wajah saya terasa kaku. Ketika sedang merasa takut pasti pernah merasakan bahwa kita selalu merasa sedang diikuti, perasaan untuk menengok kebelakang atau ke samping selalu saja menggoda kita. Pandangan didepan pun tak kalah horror karena gelap gulita, perasaan was-was kalau tiba-tiba saja lampu motor menyorot sesuatu yang mengerikan selalu menghantui.

Ngomong-ngomong soal menengok kebelakang. Mitos dikampung saya atau didaerah lain juga sama ? konon katanya kalau kita sedang jalan sendirian ditempat yang sepi, ketika takut dan merasa diikuti selalu saja tiba-tiba kita ingin menengok kebelakang. Jangan pernah menengok kebelakang karena katanya menengok kebelakang sama dengan lambaian tangan untuk si hantu. Dia akan merasa diajak atau dipanggil sehingga akan mengikuti kita.

Setelah melewati jalan yang diapit kebun nanas, masuklah kita kejalan utama. Maksudnya jalan yang cukup besar dan kalau siang hari menjadi tempat lalu lalang kendaraan warga. Tapi sayangnnya ini malam hari jadi keadaan sepi.

Kebun teh yang pada siang hari terlihat adem dengan pohon rindangnya, dimalam hari begitu menyeramkan, terdengar suara gemuruh ketika daun dan dahan saling bergesekan karena angin. Lengkap dengan suara jangkrik. Ingin rasanya saya menarik pedal gas hingga kecepatan maksimal, tapi sayang kondisi jalan yang jelek tidak memungkinkan.

“baca ayat kursi jang.” bisik bapak saya tiba-tiba.

Mendengar perintah bapak saya merasa panik, maksud hati ingin bertanya alasannya tapi saya lebih memilih diam saja. saya hanya menebak mungkin karena kita melewati sebuah tanjakan. Dikampung saya ini ada sebuah tanjakan, hanya terkenal disekitaran kampung saja, katanya dulu kata bapak saat saya masih kecil, tepat dipinggir tanjakan ada sebuah pohon mahoni besar tempat dimana dulu ada orang gantung diri.
Tanjakan ini juga biasanya menjadi tempat para begal bersembunyi untuk merampok korbannya. Beberapa kali pernah terjadi kasus begal dan tkpnya selalu disini. Mungkin si perampok ingin memanfaatkan keadaan panik dari pengendara.

Setelah melewati tanjakan itu, disamping kami ada suara krasak-krusuk. Saya mengira itu hanya suara musang yang lewat atau mencari makan. Tapi suara itu seperti mengikuti kami, saya yang gemetar dan ingin menengok kesamping ditepuk oleh bapak dan menyuruh untuk melanjutkan dan jangan berhenti.
Saat sedang menyetir dengan perasaan deg-deggan samar-samar didepan terlihat sepasang mata. Bersinar tampak kontras ditengah kegelapan. Seketika saya menginjak rem, bapak merasa kaget karena saya berhenti tiba-tiba.

“kenapa jang ?”

“itu didepan apa ?” jawab saya pelan sambil menunjuk kedepan.

“astagfirruloh, kita dihalangi agar jangan datang kerumah si Asep”. Jawab bapak pelan.

Tidak terlihat jelas, hanya samar-samar terlihat mata itu ditengah jalan. Tapi mata itu posisinya berada dibawah, seperti sedang berjongkok. Saya mengira itu musang tadi yang mengikuti kami. Saya tidak mengerti ucapan bapak yang katanya jalan kita dihalangi.

“gimana pak ?”

Bapak lalu turun dari motor, waktu itu saya kepikiran jangan-jangan begal. Lalu bapak teriak-teriak manggil “saha didinya-saha didinya ?” (siapa disana ?). saya menyarankan untuk putar balik buat pulang tapi bapak membentak saya.

Karena teriakan bapak tak kunjung ada jawaban, dan kedua sinar mata itu ga juga pergi. Maka bapak memutuskan untuk mengambil batu segede kepala tangan, dilemparlah batu itu kedepan. Mata itu tidak juga pergi, malah anteng aja didepan seperti menatap kami. Karena mungkin bapak merasa kesal bapak menyuruh saya untuk jalan pelan-pelan. Awalnya saya menolak karena ketakutan, tapi bapak memutuskan untuk jalan duluan diikuti saya dari belakang. Lampu motor disenter jarak jauh buat mastiin apa yang ada didepan itu. Saya dan bapak jalan dengan pelan.

Begitu lampu motor perlahan menyorot cahaya mata itu, kaget bukan kepalang sampe saya tak sengaja menekan klakson. Seekor anjing hitam berdiri persis ditengah jalan. Tubuhnya seukuran anjing normal, tapi bulunya hitam legam, matanya berwarna hijau. dengan lidah terjulur keluar anjing itu menatap kami berdua.
Seketika bulu kuduk saya merinding, tentu saja ini bukan anjing biasa. Walaupun dikampung saya ada yang punya anjing, saya yakin tak pernah melihat anjing dengan warna hitam, jadi bisa dipastikan ini bukan anjing milik warga. Bapak mengusir dengan melambai-lambaikan tangan sambil bilang huss..huss. tapi anjing itu tak terusik sedikitpun.

Mungkin karena bapak kesal karena si anjing tak mau juga pergi, maka bapak menyuruh saya untuk jalan saja. lagian anjing itu berdiri ditengah jalan, mungkin kita bisa jalan dipinggir saja mengingat ini jalanan lebar. Tapi saya tak berani, menolak permintaan bapak. Entah kenapa walaupun itu seekor anjing dan saya sering melihat anjing tapi perasaan takut tak bisa dibohongi mungkin karena melihat kelakuan anjing yang seperti itu pada malam hari terasa tidak wajar. Maka bapak memutuskan untuk membonceng saya dibelakang.

Baru saja kita berjalan sebentar anjing itu berdiri sigap. Matanya yang tadi polos bulat kini menyipit menatap kami, menunjukan gigi runcingnya seperti hendak menerkam. Karena kaget bapak menginjak rem, waktu itu saya benar-benar ketakutan setengah mati sampai tanpa disadari memeluk pinggang bapak kuat-kuat.
Si anjing menggong-gong keras kearah kami. Bayangkan suara gonggongan anjing malam-malam ditengah kebun teh yang gelap gulita. Suara itu membahana dan menimbulkan gema, saya komat-kamit membaca ayat kursi, entah bacaan saya benar atau salah saya tak ingat lagi karena saking paniknya. Tapi bapak malah menatap anjing itu seolah sedang menantangnya, tapi kayanya bapak deg-degan juga, soalnya waktu saya ketakutan dan meluk pinggang bapak terasa jantungnya berdetak dengan kecang didada.

Anjing itu tampaknya menyuruh kami untuk pulang, seakan-akan menghalangi kami untuk datang kerumah kang Asep. saya tak berani melihat kearah anjing itu, tapi sesekali mengintip dari pundak bapak, anjing itu tampak geram seperti ingin menyerang kami. Saya terus melafalkan ayat kursi kali ini dengan suara keras karena saking takutnya.

Bapak dan anjing itu saling bertatapan cukup lama seperti sedang melakukan perbincangan secara batin, saya hanya menduga saja tak bisa memastikan. Hingga kemudian suara handphone bapak berdering kembali, tapi bapak sepertinya tidak terusik sama sekali terus beratapan dengan anjing itu. Karena saya merasa gelisah dan takut mendengar suara handpone dalam kesunyian, saya memberanikan diri mengambil handphone bapak dari saku jaketnya. Ternyata Kang asep menelpon, kemudian saya mengangkatnya.

“assalamualaikum, punten pa, masih dimana yah ? “

Saya hendak menceritakan apa yang kami alami disini, siapa tahu kang Asep bisa membantu untuk menjemput kami. Tapi saya malah menjawab

“lagi dijalan kang sebentar lagi.” Kemudian saya menutup telponnya saking takutnya.

0 komentar

Posting Komentar