Entah berapa lama bapak dan anjing itu terus bertatapan, hingga anjing itu menggong-gong sejadi-jadinya tanpa henti. Saya menutup telinga karena tidak kuat dengan suaranya yang sangat keras. Sambil menggonggong si anjing mulai melangkahkan kakinya, wajahnya tetap menyeringai hendak menerkam.
Bapak yang merasa ditantang si anjing kemudian turun dari motor. saya yang waktu itu ketakutan mencoba menarik jaket bapak untuk menahannya, tapi bapak malah menggubris tangan saya dan terus berjalan seperti ingin meladeni tantangan si anjing. Tanpa diduga bapak mengeluarkan sebuah lidi dari balik jaketnya, panjangnya sekitar dari jari tengah tangan sampai siku. Mungkin bapak sudah menduga kejadian ini, dan saat tadi dirumah berlama-lama dikamarnya sedang mempersiapkan hal-hal yang mungkin akan terjadi diluar dugaannya.
Bapak mengacungkan lidi tersebut, sambil mengayun-ngayunkannya ke arah si anjing seperti hendak mencambuk. Anjing hitam itu menghentikan langkahnya, namun wajahnya tampak lebih marah. Saya yang waktu itu melihat adegan tersebut panik, takut kalau-kalau si anjing loncat dan menerkam muka bapak. Saya merasa heran bagaimana bisa bapak melawan seekor anjing yang tampak ganas dengan sebatang lidi.
Tapi rupanya ilmu saya terlalu cetek untuk memahami tingkah bapak. Setelah terus-menerus bapak mengayun-ngayunkan lidi itu, si anjing hitam secara perlahan mundur. Tapi wajahnya terus menyeringai, tampak air liurnya keluar menetes dengan deras dari mulutnya yang lebar. Beberapa kali si anjing mondar mandir ke kiri dan ke kanan tapi tatapannya tak pernah lepas dari bapak, seperti hendak mencari celah untuk menyerang.
Kali ini bapak mulai memberanikan diri meloncat kedepan hendak mecabuk si anjing hitam, namun dengan gesit si anjing mundur menghindari cambukan bapak yang kemudian berlari kebelakang. Seringai seram si anjing mulai hilang, tapi matanya yang bersinar hijau dikegelapan itu tetap menatap kami. seperti gagal melakukan misi si anjing memutuskan untuk pergi, ia masuk ke semak-semak kebun teh, yang kemudian diikutin suara gong-gongngannya beberapa kali. Kini anjing itu hilang ditelan kegelapan malam.
Karena saya terlanjur syok dan kaki saya gemetaran karena ketakutan, maka ketika melanjutkan perjalanan kerumah kang Asep bapaklah yang membawa motor sementara saya duduk dibelakang. Tentu saja saya duduk dibelakang dengan perasaan was-was takut kalau-kalau si anjing itu balik lagi dan menerkam saya dari belakang.
Tapi tidak begitu lama, dari arah depan tampak sebuah cahaya lampu bulat berwarna kuning. Ketika jarak kami mulai dekat, terlihat bahwa itu kang Asep dan seorang pria yang tidak saya kenal dibonceng dibelakangnya.
“saya menyusul, takut terjadi apa-apa. Soalnya pas tadi ditelpon katanya lagi dijalan. Takut kalau ban motornya bapak bocor.” Kata kang asep kepada bapak.
“engga, Cuma pelan aja bawa motornya, maklum jalannya jelek.” Saya heran, kenapa bapak tak menceritakan peristiwa yang baru saja kami alami. Mungkin bapak tidak mau membuat suasana semakin panik.
kami berangkat melanjutkan perjalanan, motor kang asep mengikuti kami dari belakang. Sekarang saya sedikit tenang, seandainya anjing itu datang lagi dan hendak menerkam, setidaknya masih ada orang dibalakang saya.
Akhirnya kami tiba dikampung kang asep. setelah masuk ke jalan kecil dan melewati kebun singkong sebuah rumah dengan cat putih terlihat. Kang asep membunyikan klakson, saya menduga dia ingin memberitahu bahwa itu rumahnya.
Begitu kami masuk rumah, kang Asep memperkenalkan kami dengan mertuanya, seorang wanita parubaya dan adik iparnya yang tadi ikut bersama kang asep dibonceng dibelakang. Dirumah itu Cuma mereka bertiga kata kang asep, bapak mertuanya sekitar 2 bulan yang lalu sudah meninggal. Tadi sore rumah ini sempat ramai oleh tetangganya yang ingin menjenguk,tapi sekarang sudah sepi.
Setelah minum kopi hangat sajian mertua kang asep, kami dibawa kekamar untuk melihat kondisi istrinya yang sakit. sebenarnya saya ingin duduk saja sambil menikmati kopi dan cemilan yang disajikan, namun karena rasa penasaran saya mengikuti bapak dari belakang.
Tampak Seorang wanita mengenakan daster merah motif kembang-kembang sedang duduk berbalut selimut. Rambutnya panjang tergerai, dengan kulit sawo matang. Tatapannya kosong kearah jendela, sepertinya dia tidak sadar dengan kedatangan kami. Kemudian kang Asep memperkenalkan bahwa wanita itu istrinya, teh Ratih.
“neng..neng…neng” bapak memanggil-manggil teh Ratih.
Teh ratih tidak merespon, dia masih anteng melihat kearah jendela. Wajah teh ratih tampak pucat, lingkarang hitam disekeliling matanya tampak jelas (istilahnya mungkin mata panda) kata kang Asep istrinya itu jarang sekali tidur, kalau tidak kumat ya kerjaannya seperti itu bengong. badannya juga kurus, bahkan tulang belikat dibawah lehernyapun terlihat.
Bapak menyuruh kang asep untuk mengambil segelas air putih, setelah dibawakan bapak kemudian melafalkan doa-doa. Setelah selesai, sedikit demi sedikit air itu dicipratkan kewajah teh Ratih. namun kaget bukan main semua orang yang ada dikamar itu termasuk saya ketika melihat reaksi teh ratih saat menerima cipratan air doa dari bapak. Tangannya menyamber gelas yang sedang dipegang bapak, hingga terpental kearah tembok. Bunyi denting gelas terbentur Cumiikan telinga, hingga pecahan kacanya berhamburan kemana-mana, bahkan hampir saja mengenai mata mertua kang Asep.
Teh Ratih berubah ekpresi yang tadinya kalem dan kosong kini tampak marah. Matanya melotot sempurna, giginya menyeringai bahkan terdengar gemeletuk dari gigi yang ditekan secara berlebihan sehingga terasa ngilu bagi kita yang mendengar. Deru nafasnya semakin kencang seperti orang yang sedang menahan amarah. teh ratih menyender ketembok seakan sedang ancang-ancang untuk menyerang, jari tangannya terus mencakar–cakar tembok membuat ngilu bagi yang melihat apalagi mendengar suaranya.
“ini bukan istrimu sep” kata bapak pelan.
Baru saja bapak lengah menengok kearah kang asep, teh ratih loncak menerkam bapak. Kini leher bapak berada dalam cengkaraman teh ratih, kami yang panik melihat kejadian itu segera menarik tubuh teh ratih. Bayangkan tiga orang pria, saya, kang asep dan adik iparnya menarik tubuh seorang wanita kurus secara logika seharusnya bukan masalah. Tapi diluar dugaan kami, teh ratih masih kokoh mencekik bapak tidak goyah sedikitpun bahkan saat kami beritiga menariknya sekuat tenaga.
Ibu mertuanya yang panik, menangis sambil berlari keluar mungkin hendak mencari bantuan. Sementara kami terus berusaha melepaskan teh ratih. Muka bapak tampak merah, nafasnya tersengal-sengal tapi bibirnya tampak berkomat-kamit mungkin sedang melafalkan doa. Teh ratih medekatkan wajahnya kearah bapak hingga mulutnya hanya berjarak beberapa centimeter saja dari muka bapak, dan tanpa disangka-sangka dia berteriak sejadi-jadinya. Kami yang sedang berusaha menarik tubuh teh Ratih replek menutup telinga.
Setelah berteriak teh Ratih loncat kearah depan melepaskan cengkramannya. Kemudian istri kang asep itu jongkok menatap kami. Seperti seekor binatang, teh ratih tampak tidak peduli lagi dengan penampilannya, dasternya yang robek bagian sampingnnya karena dia bergerak lincah dan tak teratur, sehingga bagian tubuh sensitifnya terlihat kemana-mana, tapi laki-laki mana yang akan birahi ketika melihat model wanita yang sedang dalam kondisi seperti kesetanan.
Tidak begitu lama ibu mertua kang Asep datang bersama rombongan, sekitar 8 orang dengan dua permpuan dan sisanya laki-laki. Mereka tampak keheranan menatap teh ratih didepan pintu masuk. Saat lengah itulah bapak menyentuh kepala teh ratih tepat dibagian jidat, bapak mencengkaramnya dengan kuat. Teh ratih berteriak-teriak, merontak bahkan tak segan untuk mencakar dan menedang tubuh bapak.
“bantu saya, pegang tangan dan kakinya” teriak bapak pada kami. Sontak semua pria yang ada disana ikut
membantu.
Walaupun tangan dan kakinya sudah dipegang kuat, tapi tampaknya teh tarih masih berusaha melawan bapak dengan memajukan mulutnya untuk menggigit. Mungkin saking kesalnya karena gigitannya tak juga kena, teh ratih meludahi bapak beberapa kali. Tapi bapak tak gentar dengan serangan yang dilakukan, hingga akhirnya teh ratih tergolek lemas tak berdaya. Setelah keadaan tenang teh ratih ditidurkan kembali diatas ranjangnya.
Menurut bapak yang ada dialam tubuh teh ratih bukan nyawanya sendiri, tapi mungkin setan suruhan seseorang sedangkan nyawa teh ratih tersesat berkeliaran. Saya kira kejadian itu hanya terjadi dalam film saja, ternyata nyawa bisa juga keluar dari tubuh kita dan tersesat. Entah benar atau hanya mengada-ngada dengan apa yang diucapkan bapak, tapi bila melihat kejadian yang baru saja terjadi memaksa saya untuk sedikit meyakininya.
“dia sedang kelelahan, mungkin nanti akan kumat lagi sep.” kata bapak.
“terus saya harus gimana pak ?”
Lalu bapak menjelaskan kepada kang asep bahwa ini pengalaman pertamanya menangani kasus seperti ini, dulu memang kejadian seperti ini pernah terjadi, tapi bapak hanya sebatas menyaksikan saja tak ikut andil dalam mengobati.
“kita harus melakukan upacara “ngajemput lelembut”. Kata bapak kepada mas asep.
istilah “ngajemput lelembut” ini kalau dalam bahasa indonesia bisa diartikan menjemput nyawa. Menurut bapak Dahulu kala Konon upacara ini sering dilakukan atau lumrah dikampung. Karena dulu saat kampung kami masih benar-benar hutan dan masih banyak tempat-tampat keramat banyak orang-orang yang tersesat atau linglung tak bisa pulang, padahal secara penglihatan lahir orang tesebut hanya tertidur, biasanya jasadnya disembunyikan si setan di semak-semak atau bahkah didahan-dahan pohon besar. Orang yang biasanya diisengi setan itu karena melanggar atau berlaku tidak sopan, seperti mengencingi sebuah pohon atau duduk diatas makan tanpa sengaja.
Akhirnya malam itu kami memutuskan untuk diam dirumah kang asep, bersama bapak-bapak yang lain tetangganya kami berbincang seru, seakan melupakan kejadian mengerikan yang baru saja terjadi. Saya ikut nimbrung tapi tidak ikut mengobrol, hanya menikmati kopi dan kacang rebus yang disediakan mertua kang Asep.
Hingga akhirnya “tahrim” berkumandang. Tahrim itu kalau dikampung saya adalah istilah untuk membangunkan orang untuk sholat subuh, jadi biasanya seseorang datang ke masjid dan membaca alquran melalu speaker, hal itu dilakukan sampai tiba waktunya adzan subuh. Dikampung saya biasanya tahrim dimulai dari jam setengah empat pagi.
Saya dan bapak berpamitan untuk pulang, memburu untuk sholat subuh dirumah. Tapi sebelum pulang bapak berpesan dengan suara pelan agar mas asep mengorek-ngorek halaman depan atau belakang rumahnya untuk mencari benda-benda aneh yang mungkin saja ditanam oleh seseorang.
Senin, 22 Agustus 2016
SANTET 3
Share this
Related Articles :
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Paling Dilihat
-
Yang sudah ane ceritakan di QueenzMitch stories sbelumnya. Ane bersama rombongan sekolahan ane pergi berlibur ke JOgja dalam rangka perpisah...
-
Ane berkuliah di jurusan biologi salah satu universitas negeri di bandung, dan kebetulan jurusan ane cukup kesohor sama biologi lapangannya,...
-
Jadi dulu ane sempet kos kan ceritanya Nah disitu ada 2 kamar dihuni 4 orang. Gw ama mba tia, kamar sebelah ada mba retno dan mba fani (bu...
-
Jalan masuk menuju ke kampung ane sebenernya banyak, tetapi jalan yg paling deket dan paling cepet dari jalan raya yg di lewati angkot yaitu...
-
Ini Cerita si sebernye waktu masih kelas 2 SMP .. waktu itu gw diajakin jalan kerumah gebetannye temen gw, sebenernye waktu itu si gw lagi m...
-
Seperti kebiasan di kampung setelah panen padi dan mulai dicangkul lagi, anak2 pada mencari belut di malam hari pake petromax dan golok tump...
-
Judul : Cuci.. Cuci Sendiri... Tersangka : Kasmi Korban : Emak saya Lokasi : Subang, kampung halaman emak Jadi ini kisah sewaktu emak saya ...
-
Jadi pertama kali saya ngampus, di gedung jurusan saya itu ada pohon udah gede dan udah tua gitu gan saya gatau deh itu pohon apaan tapi aka...
-
Jauh ketika saya masih 2 SMA, saya dan keluarga saya kedatangan sepupu yang cantik bersekolah di JKT juga yang pingsan jatuh sakit dan masuk...
-
puncak tinggal di kavling delima akhirnya sampe juga. Bini tetangga ane kesurupan parah. Ane nolongin sampe dicakar-cakar Ane ceritain nant...
Label
Arsip Blog
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar
Posting Komentar