Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 7

Dua hari berlalu, semenjak obrolan tengah malam dirumah kang Asep. kehidupan kembali normal, walaupun saya belum mengerti untuk standar yang dikatakan normal itu seperti apa. Teh Ratih kembali pulih, kang Asep sedikit demi sedikit kembali menjalankan usahanya yang satu bulan kebelakang sempat terpuruk.
Untuk penjagaan agar tak ada yang kembali lagi mengganggu teh Ratih, bapak melakukan upacara adat yang dinamakan “numbal imah”.

Numbal imah ini semacam kebudayaan lama, yang masih ada dikampung saya. biasanya dilakukan ketika sebuah rumah baru berdiri, atau keluarga yang akan pindah kerumah baru. Menurut kepercayaan penduduk dikampung saya, hal ini dilakukan sebagai tolak bala, agar rumah tersebut terhindar dari marabahaya dan gangguan hal-hal yang tak kasat mata.

Numbal imah bukan sebuah upacara besar, dengan ritual yang aneh-aneh. Hanya menancapkan 4 bambu kuning dengan panjang sekitar 10 centimeter di empat penjuru rumah. Setelah itu dilakukan sukuran dengan mengundang para tetangga untuk melakukan pengajian dengan diakhiri acara makan-makan. Jika dilihat dari sudut pandang sosialnya, mungkin sebenarnya tradisi numbal imah ini hanya untuk merekatkan hubungan silaturahmi sesama warga.

Jangan terlalu berpikir negatif, kami hanya menjalankan tradisi. Menghormati warisan filosofi hidup leluhur terdahulu kami. Karena apapun upacara yang dilakukan hanyalah sebuah cara, ketentuan kita serahkan dan kembalikan pada sang pencipta, yang bagi umat islam seperti kita yaitu alloh subhanawataala.
Saya kira semuanya akan baik-baik saja, namun ternyata manusia memang tak bisa lepas dari masalah. Hingga akhirnya terror yang dialami kang asep kini pindah ke keluarga saya. Yang pertama kali menyadari bahwa keluarga kami sedang diganggu adalah ibu.

Ibu bercerita kepada saya, sebelum akhirnya dia juga bercerita kepada bapa tentang hal-hal aneh yang dialaminya. Kejadian itu diawali ketika kami sedang bakar-bakar sate ayam. 4 ekor ayam broiler dikirim paman saya yang baru saja panen di peternakannya. Sekitar jam 10 malam keluarga saya masih belum tidur, masih asik memanggang tusukan sate dihalaman belakang, dapur lebih tepatnya.

Kebetulan rumah saya memiliki dapur yang terpisah dari bagian rumah. letaknya beberapa meter saja dari rumah. Dapur kami ini tiang-tiangnya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bambu atau orang-orang biasa menyebutnya “bilik”. Dengan atap genteng lama yang sudah berwarna coklat. Sebuah dapur yang cukup luas, selain ditempati koleksi perabotan dapur milik ibu disana juga ada bangku berbentuk persegi empat, tempat dimana bisanya kami makan bersama-sama.

Bapak masih sibuk mengipas-ngipas arang agar dagingnya cepat matang, sementara ibu sibuk meracik bumbu kacang. Dan kedua adik perempuan saya tampak lahap menikmati setiap potongan daging empuk berwarna coklat karena terbalut kecap.

“koq bau amis ya pak.” Ucap ibu saya ketika sedang mengolesi daging dengan jeruk nipis dan kecap manis.

“ah, engga. Daging ayamkan baunya ga terlalu bu, ga kaya daging kambing.” Jawab bapak.

“bukan, bukan dari daging pa, dari luar kayanya.” Sambil mengendus-ngendus ibu mencari arah bau berasal.

Karena mendengar ucapan ibu, kami semua ikut mengendus. Tapi jujur kami semua tak mencium bau apapun. Mungkin karena penasaran ibu keluar, mencari sumber bau berasal. Saat keluar ibu melihat sepasang mata hijau, terlihat dibawah pohon rambutan tampak sedang mengawasi. Awalnya dia tidak curiga dan menduga itu seekor kucing, karena mata kucing akan bercahaya ditempat gelap.

mungkin karena ibu kasihan atau mungkin hanya ingin berbagi rejeki saja, ibu melambai-lambaikan satu tusuk sate sambil memanggil-manggil yang ia kira seekor kucing, “puss..puss..puss, sini puss.”

Tapi tampaknya sesosok mata itu tak pernah bergeming dengan ajakan ibu saya, terus menatap tanpa berkedip sedikitpun. Kesal karena panggilannya tidak dihiraukan, ibu melemparkan satu tusuk sate kearah sepasang mata tersebut. Tapi masih tetap tidak bergerak sedikitpun, ibu merasa takut sebenarnya, namun dia lebih memilih diam, kemudian masuk lagi kedapur melanjutkan aktivitasnya tanpa membicarakannya dengan kami.

Kejadian itu berulang, ketika ibu bangun jam 4 subuh hendak pergi kedapur membersihkan sisa acara bakar-bakar semalam. Maklum dikampung saya biasanya para ibu bangun lebih pagi dibanding anak-anak dan suaminya, tujuannya untuk menyiapkan sarapan dan bekal yang hendak dibawa suaminya pagi-pagi ke ladang.

Tahrim belum berkumandang di masjid, tapi ibu sudah terbangun karena sudah terbiasa. Ketika hendak membuka pintu belakang rumah, sekelebat seperti ada orang yang berlari persis didepannya. Ibu saya merasa kaget dan sedikit ketakutan, melirik ke kiri dan kenanan untuk memastikan bahwa yang dialaminya barusan bukan delusi atau imajinasi karena belum sadar dari tidurnya.

Namun nihil, tak ada seorangpun yang ibu lihat. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa barusan nyata, bahkan dia bisa merasakan hembusan angin yang barusan lari dan getaran dari tanahnya juga terasa nyata.
Ketika berjalan menuju dapur dan hendak membuka pintunya, ibu teringat kembali kejadian tadi malam saat melempar setusuk sate ke arah pohon rambutan. Maka dengan reflek dia kembali mengecek pemandangan pohon rambutan, dan apa yang dilihat ? sepasang mata itu masih ada, berwarna hijau tampak bulat dan tak berkedip sedikitpun.

Setelah masuk kedalam dapur, ibu mengambil korek api. Dia mencoba menyalakan tungku kayu untuk memasak. Tapi perasaan itu tak bisa dibohongi, kaki ibu katanya gemetar. Bulu kuduknya merinding, bayangan sepasang mata hijau itu selalu menempel dikepalanya.

Sekedar info, entah benar atau bohong katanya kalau bulu kuduk kita merinding karena ketakutan, itu karena ada makhluk astral yang sedang berada didekat kita. Karena dalam tubuh kita mengandung listrik, dan makhluk astral atau makhluk tak kasat mata ini memiliki energi maka ketika tubuh kita didekati reflek energi listrik didalam tubuh ini akan bereaksi.

Ibu saya mencoba memberanikan diri dengan tetap beraktivitas dan menghiraukan bayangan-bayangan seram dikepalanya. Namun ketika bau amis itu tercium kembali dihidungnya, ibu menyerah dia lari menghiraukan pekerjaannya yang belum selesai.

Pagi hari ibu cerita kepada bapak tentang apa yang terjadi semalan dan tadi subuh, namun ketika dicek dibawah pohon rambutan tak ada apa-apa.

“kalau sepasang mata hijau, jangan-jangan yang waktu kita dikebun teh itu pak ?”kata saya kepada bapak mengingatkan kejadian waktu kita dicegat anjing hitam.

“huss.. mungkin itu Cuma kucing saja.” jawab bapak tenang, agar suasana tidak semakin panik.

Ketika bapak pergi kesawah, ibu terus bertanya kepada saya tentang apa yang dimaksud kejadian dikebun teh dengan sepasang mata berwarna hijau. tapi saya mengerti maksud bapak, jika saya menceritakan apa yang terjadi peristiwa itu, ibu tak akan berani lagi bangun subuh untuk masak dan bisa kacau balau nantinya. Ibu saya itu orangnya gampang panik.

Untuk sekedar menenangkan hati ibu, maka saya memasang lampu dibawah pohon rambutan yang jaraknya beberapa meter dari dapur kami. Lampu bulat berwarna kuning dengan daya lima watt rasanya cukup untuk mengusir lagi kekhawatiran ibu. Maklum letak antara rumah kami dengan tetangga sedikit renggang, dipisahkan oleh kebun pisang yang gelap gulita kalau malam hari.

Namun rupanya teror belum berhenti sampai disitu. Menurut ibu Menjelang malam hari ia merasa ingin buang air kecil, maka ia bergegas pergi meninggalkan tempat tidurnya. Mata masih dalam keadaan sepet, pikiran ngantuk antara sadar dan tidak sadar ketika ibu beridiri dikamar mandi dan melihat kearah jendela kaca kecil, diluar sana ia melihat seorang wanita berdiri persis menatap kearahnya dengan wajah penuh amarah.

Ketika melihat kejadian itu ibu tersadar seketika. Rasa kantuk telah pergi, mata bersinar seperti bangun dipagi hari. beberapa kali dia mengucapkan istigfar, kemudian mencuci mukanya. Walaupun merasa takut, ibu kembali melihat kearah jendela kaca kecil kamar mandi untuk memastikan bahwa barusan bukan mimpi. Dan wanita itu masih beridiri, mengenakan kebaya putih dengan balutan kain batik dibawahnya, berkerudung putih pula tapi rambutnya tergerai kedepan.

Ibu yang panik segera keluar setengah berlari, dia berteriak namun suaranya tidak kelaur. Tubuhnya menggigil ketakutan setengah mati. Ibu saya segera menggoyah-goyahkan tubuh bapak saya yang sedang tertidur pulas.
“kenapa bu ?” tanya bapak saya ketika terbangun.

Ibu saya tidak berbicara, wajahnya pucat dengan pipi dibanjiri air mata. Dia hanya menunjuk-nunjuk keluar, dengan tangan yang bergetar. Bapak yang mengira ada maling sontak bangun dan berlari keluar membuka pintu.
Namun nihil tak ada siapapun diluar rumah, sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dari kebun pisang sebelah dan semilir angin malam yang membuat tubuh menggigil.

“kenapa bu ? bu.. nyebut..isitigfar bu.” Bapak mengguncang-guncangkan tubuh ibu karena dia menangis karena ketakutan.

Saya duduk disamping ibu mengusap-ngusap bahunya mencoba menenangkan. Adik perempuan saya yang masih berumur 10 tahun terbangun kemudian membuatkan ibu teh manis. Malam itu benar-benar menggemparkan, saya bermaksud untuk mengundang tetangga agar suasana ramai dan ibu bisa sedikit tenang, tapi bapak melarangnya. Mengingat waktu sudah menunjukan jam setengah dua malam.

Ketika keadaan sedikit kondusif, dan ibu saya tidak ketakutan lagi bapak mulai bertanya apa yang dialaminya.

“waktu ke kamar mandi dari jendela kaca ibu liat ada perempuan, matanya meletot seperti marah sama ibu. dia sedang berdiri diluar sendirian.” ucap ibu yang kemudian menangis kembali mungkin karena bayang-bayang itu teringat lagi.

Akhirnya malam itu ibu dan kedua adik saya tidur diruang tengah, sementara saya dikursi sofa. Bapak mungkin yang tak bisa tidur, dia pergi keluar katanya mau berkeliling rumah untuk mengecek keadaan sekitar. Bapak juga sekalian ingin mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Tapi ketika saya hendak terlelap tidur, terdengar suara orang sedang berlari, mungkin itu bapak. Getarannya bahkan masih terasa, saya yang merasa penasaran kemudian membuka gordeng kaca untuk mengecek. Dan saya melihat bapak berlari menuju kebun pisang yang gelap gulita, entah apa yang bapak kejar kearah sana. Ingin rasanya saya keluar, namun belum sempat saya beranjak dari kursi. tiba-tiba seorang perempuan berdiri dihalaman depan menatap kearah saya..

0 komentar

Posting Komentar