Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 1

tinggal didaerah subang, nama kampungnya saya samarkan saja ya..demi kebaikan bersama. Sedangkan saya sekarang berada dikota bandung sedang menimba ilmu disalah satu universitas. Pengalaman yang saya lihat tentang kasus ini satu bulan sebelum bulan puasa kemarin, lebih tepatnya saat saya libur setelah UTS saya pulang ke rumah untuk liburan.. bapak saya adalah seorang petani dan pedagang sekaligus profesi sampingannya yaitu membantu orang, saya tak tahu harus mendifinisikan apa untuk bagian membatu orang ini. Jadi begini didesa saya ini kebudayaan hindu masih kental, sekalipun islam adalah agama resmi penduduknya tapi tradisi hindu lama tak bisa dilepaskan, seperti membakar kemenyan saat jarah ke makam, atau melakukan upacara-upacara adat dikampung seperti ruatan bumi dan sebagainya, saya tak tahu apa ini tradisi hindu atau hanya adat istiadat setempat yang pasti kebiasaan itu masih betahan sampai sekarang.

Bapak saya belum terlalu tua, umurnya baru 45 tahun, bisa dibilang masih muda, bapak saya adalah orang yang selalu dimintai untuk mendoakan kemenyan saat mau jarah ke makam atau mendoakan air untuk orang yang sakit. Mungkin bisa dibilang orang pintar atau dukun, tapi saya menolak dibilang dukun, karena bapak saya tidak membuka praktek, beliau hanya mencoba membantu orang-orang sekitar dengan ilmu kebatinan dan tidak memungut bayaran, sekalipun ada saja orang yang berterima kasih dengan imbalan uang dengan nominal paling besar 20 ribu rupiah, saya tahu karena saya sering melihatnya kalau sedang dirumah. Tidak melakukan ritual yang aneh-aneh, bila ada orang sakit biasanya bapak hanya memberikan air putih dalam botol aqua yang sudah dilafalkan doa-doa.

Bapak saya belajar doa-doa dan semua ilmu kebatinannya dari kakek saya, dulu sewaktu kakek saya masih hidup dia adalah sesepuh kampung sekaligus seorang “syeh mayit”. Saya tak tahu apa sebutan nasionalnya atau nama di daerah lain julukan untuk seseorang yang berprofesi untuk mengurusi mayat mulai dari memandikan menyolatkan sampai menguburkan. Tapi dikampung saya orang yang bertugas untuk mengurus mayat disebut “syeh mayit”.

Disini untuk pertama kalinya pengalaman teraneh yang pernah saya alami dimulai. Berawal dari kedatangan seorang pemuda usianya sekitar 25 atau 27 tahunlah sekitar segitu dari kampung sebelah kerumah saya. Namanya maaf saya samarkan yah demi kebaikan bersama, kita anggap saja namanya asep. Kang asep ini datang kerumah ba’da isya, saya masih ingat karena waktu itu sedang asyik nonton tv dan kemudian ibu saya teriak-teriak nyuruh sholat.

Kang asep datang kerumah bilang karena istrinya sedang sakit, dia membawa botol mineral ukuran satu liter, saya yang sedang asyik menonton tv diruang tengah mendengar percakapan antara bapak dan Kang asep kurang lebih seperti ini (percakapan ini dalam bahasa sunda namun saya translatekan kebahasa indonesia agar semuanya bisa paham) :

Kang Asep : “istri saya sudah seminggu sakit pa
Bapak : “kenapa tidak dibawa ke mantri di puskesmas, memangnya sakit apa ? ”
Kang Asep : “lemas, ga bisa bangun. Kata pa mantri ini sakit demam aja, tapi obat sudah habis masih tetep aja, besok mau dibawa kerumah sakit rencananya pak. Tapi sebelumnya saya mau minta tolong. Takutnya ini ada apa-apa gitu”.
Bapak : “apa-apa, apa ? ” bapak saya memang suka bercanda.

Dikampung saya setiap kali ada orang yang sakit, selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis.maka tak heran orang-orang lebih memilih membawa kerabat atau keluarganya yang sakit untuk berobat ke orang pintar daripada ke dokter. Tak heran sih, soalnya biaya pengobatan alternatif dinilai lebih murah daripada harus dibawa kerumah sakit.

Bapak yang mendengar penjelasan Mas Asep lalu meminta sebotol air mineral yang telah dibawa, kemudian bapak memejamkan mata dan merafalkan doa-doa. Saya yang awalnya tidak tertarik kemudian beralih ke ruang tamu bersama ibu. Sementara bapak masih sibuk dengan meditasinya, saya dan ibu mencoba berbincang dengan Mas Asep mulai dari menanyakan keadaan istrinya hingga akhirnya obrolan ngaler-ngidul yang tak juntrung tujuannya.

Ketika sedang asik-asiknya kami berbincang bapak terperanjat kaget yang hampir saja menjatuhkan air dalam botol yang sedang dipegangnya. Sontak kami semua kaget melihat reaksi bapak yang tiba-tiba.
“kenapa pak ?” kang Asep yang posisinya berada didekat bapak replek bertanya.
“engga, ini kirain kecoa dibawah.” Jawab bapak dengan bercanda seperti biasa.
Namun saat mas asep sudah keluar dari rumah kami, bapak berkata pada ibu dengan mimik muka serius “kasian istri si asep. Semoga tidak apa-apa.” Sejak ucapan bapak hari itu saya curiga ada yang tidak beres dengan istrinya kang asep.

Benar saja, setelah tidak ada kabar selama bulan puasa, kang asep datang kerumah 2 hari setelah lebaran. Dia bilang istrinya malah tambah parah. Istrinya sekarang malah seperti orang ayan. Kalau dulu Cuma lemas, sekarang dia seperti orang gila. Kadang tertawa-tawa sendiri kadang menangis. Bahkan yang lebih parah kata kang Asep kalau sedang mengamuk, istrinya bisa marah-marah tak jelas membuat kegaduhan dengan melempar barang-barang dan teriak-teriak.

Sekedar info Kang Asep ini orang yang cukup berada, dia adalah bandar nanas. Orang yang suka beli nanas dari petani terus ia jual ke pasar. Oh iya dan nama istri kang Asep ini saya samarkan juga yah takutnya ada keluarganya yang membaca, kan saya jadi ga enak membeberkan rahasia orang lain hehe.. sebut saja nama istrinya Teh Ratih. Kata kang Asep selama bulan puasa kemarin dia dibuat kerepotan, usahanya terbengkalai, maklum dia bandar kecil jadi segala sesuatu diurusnya sendiri tanpa karyawan. Uang tabungannya juga menipis karena harus bolak-balik ke rumah sakit. Begitu ucapnya kepada bapak.

Gejala yang aneh dimulai ketika istri kang Asep dirawat dirumah sakit. Kata kang Asep waktu itu jam 1 malam sedang menjaga istrinya dikamar rumah sakit dia merasa lapar. Tanpa pikir panjang karena melihat teh Ratih sudah tertidur lelap dia keluar untuk mencari makan, karena didepan rumah sakit ramai oleh pedagang yang menjajakan dagangannya.

Pas selesai makan kang Asep balik lagi ke kamar, Teh Ratih sudah ga ada diranjangnya. Awalnya dia ga merasa aneh atau curiga karena mungkin sedang ke kamar mandi yang letaknya emang berada diluar kamar, maklum walaupun kang asep ini orang yang cukup berada tapi hanya mampu untuk menyewa kamar kelas 3 yang minim fasilitas dan isi pasiennya bisa sampe 6 orang.

Lima belas menit berlalu teh Ratih belum juga datang, maka Kang asep berinisiatif buat melihat ke kamar mandi. Ketika sampai didepan kamar mandi dia mengetuk pintu sambil memanggil-manggil nama istrinya. Namun ternyata pintunya tidak dikunci, kang Asep kaget bukan kepalang ketika melihat istrinya sedang jongkok seperti anjing dan menjilati air WC, dia muntah sejadi-jadinya melihat kelakuan istrinya yang diluar nalar itu. Wajah teh Ratih pucat, mata melotot sempurna, lidahnya melet-melet persis seperti anjing. Begitu ucap kang Asep kepada bapak sore itu.

mendengar cerita kang asep tentang istrinya membuat bulu kuduk saya merinding dan juga merasa mual. Apalagi ibu yang tak kuat dan langsung pergi ke kamar mandi. Sejak melihat kejadian itu kang Asep merasa yakin bahwa istrinya bukan sakit biasa, bukan sakit secara lahiriah. Maka dibawa pulanglah teh Ratih kerumah.
Saya yang setelah cukup lama tinggal dibandung bisa dibilang bergelut dengan dunia moderenisasi tidak kepikiran waktu itu bahwa teh Ratih diguna-guna, keimanan saya pada hal-hal mistis sedikit demi sedikit telah luntur. Lagian guna-guna atau santet setahu saya yang sering lihat ditv biasanya Cuma sakit perut, muntah darah atau muntah paku. Hingga akhirnya bapak berkata bahwa istri kang Asep ini ada yang ganggu.
“saya juga udah yakin pa, tapi siapa orangnnya koq sampe tega. Perasaan saya tak pernah bertengkar sama orang atau nyakitin hati orang.” Ujar mas asep kepada bapak dengan raut wajah penuh tanya.
“saya tidak tahu.” Bapak tak menjawab rasa penasaran kang Asep.

Saya tidak tahu apakah bapak benar-benar tidak tahu atau hanya menjaga situasi agar tetap kondusif. Maklum masalah gaib-pergaiban itukan susah untuk dibuktikan secara kasat mata, walaupun kita sudah tahu siapa pelakunya tapi tanpa bukti yang jelas takutnya dibilang fitnah. Mungkin bapak menjaga agar kang Asep tidak bertindak sembrono.

“saya harus gimana ? mohon bantuannya lah pak ?”
“Saya juga ga terlalu paham sep, masalah beginian. Biasanya bapak Cuma ngusir orang yang ditempelin jurig jarian saja (jurig jarian itu istilah untuk setan kelas bawah yang biasanya diam ditempat-tempat seram, seperti pohon beringin dan sebagainya) tapi insyaalloh bapak coba bantu sebisa mungkin”. Mendengar permintaan kang Asep, bapak tampak kebingungan.

Tidak seperti biasanya kali ini bapak tak meberikan air yang sudah di doakan, mungkin beda perkara. Bapak hanya menyuruh kang asep pulang dan memberikan semacam hafalan atau doa khusus yang telah ditulis bapak dalam kertas, katanya untuk diamalkan sehabis sholat isya.

Sebelum pamitan kang Asep meminta nomer handphone bapak, jaga-jaga untuk keadaan darurat katanya. Walaupun desa saya terpencil dan listriknya masih belum stabil karena sering mati lampu, tapi semua penduduknya udah punya handphone walaupun masih tipe-tipe nokia jadul hehe..

Setelah kedatangan kang Asep untuk yang kedua kalinya bapak jadi sering bangun malam untuk wirid. Saya biasanya kebangun karena mendengar suara cipratan air ketika bapak berwudhu dikamar mandi.
Setelah dua hari, tepat jam 8 malam kang Asep nelpon. Kami yang sedang asyik berkumpul diruang tengah, ibu, saya dan kedua adik perempuan saya jadi ikut gelisah melihat bapak mondar-mandir sambil menelpon.
“kenapa pak ?” tanya ibu.
“ini si asep, katanya istrinya kumat lagi. Jang ayo anter bapa kerumah si asep.” setelah menutup telponnya mengajaku untuk mengantarnya. Jang itu kependekan dari ujang, sebuah panggilan sayang orang sunda terhadap anaknya kalau untuk cewe biasanya neng.
Dengan terpaksa mata saya yang sudah mengantuk sebenarnya, mengantar bapak karena tidak mau disebut anak durhaka.

0 komentar

Posting Komentar