Senin, 22 Agustus 2016

SANTET 9

“jadi seperti ini kejadiannya pak.”Kang Asep mulai bercerita, semua orang yang ada diruangan itu, saya, ibu dan kedua adik saya mendengarkan dengan seksama.

Menurut kang Asep dua hari kemarin Teh Ratih mulai pulih, entah karena mulai terbiasa atau tidak peduli lagi, sedikit demi sedikit terror yang dihadapi mulai bisa ia atasi. Kini ia tak peduli lagi dengan bayangan hitam yang selalu terlihat diluar rumahnya menjelang malam tiba. Suara wanita yang terus terngiang ditelinganya sudah anggap ia biasa. Bahkan terror itu sudah jarang. Mungkin karena kondisi rumah kang Asep yang selalu ramai, menurut kang Asep ia meminta tetangganya untuk menginap dirumahnya secara bergantian. Sedangkan ibu mertuanya sejak teh Ratih mengalami terror ia memutuskan untuk tinggal disana, walaupun adik iparnya harus bolak-balik mengecek rumah sekedar untuk bersih-bersih atau mengambil baju ganti.

Menurut kang Asep malam itu dirumahnya cukup ramai, ada dua orang perempuan tetangganya yang menginap. Sedangkan kang Asep berjaga dibangku depan rumah ditemani adik iparnya, ketika sedang menikmati segelas kopi dan roko kreteknya, tiba-tiba gerimis turun. Memaksa kang Asep untuk masuk kedalam rumah. Sekitar tengah malam dan gerimis telah berubah menjadi hujan lebat, semua orang sudah terlelap. Kecuali teh Ratih waktu itu yang terbangun karena ingin buang air kecil.

Teh ratih tidur diruang tengah ditemani ibu dan dua orang tetangganya yang menginap disana. Sedangkan kang Asep tidur disofa ruang tamu. Teh ratih mencoba mengguncang-guncangkan pelan tubuh ibunya untuk minta ditemani ke kamar mandi.

Kang asep ini memiliki kamar mandi yang terpisah dari rumahnya, dan memiliki sebuah sumur sebagai sumber air bersih. Maklum didesa kang asep yang letaknya cukup jauh dari kecamatan atau hampir bisa dibilang sangat pelosok, warganya tidak memiliki akses air bersih yang langsung kerumah-rumah. Ada sebenarnya MCK yang didirikan sebagai pusat air bersih warga, namun sebagian orang lebih memilih cara tradisional untuk mendapatkan air bersih agar tidak bolak-balik mengangkutnya dari MCK, yaitu dengan cara menggali sumur.

Hujan turun sangat deras disertai angin kencang, malas sebenarnya teh ratih harus pergi kebelakang namun kali ini sudah tidak bisa dikompromi lagi. Karena ibunya tak kunjung bangun, ia memutuskan untuk pergi sendiri. Namun tiba-tiba lampu dirumahnya mati, keadaan menjadi gelap gulita. Ia mengambil korek api untuk menyalakan lilin, yang sudah dipersiapkan sebelumnya. karena warga dikampung, termasuk dikampung saya selalu siaga bila hujan tiba untuk menyiapkan lilin apalagi kalau hujannya dibarengi petir yang tak henti-henti.

Teh ratih keluar lewat pintu belakang hanya ditemani cahaya lilin dan payung, tidak kepikiran waktu itu menurut teh ratih akan diganggu hal-hal aneh lagi. Namun ketika membuka pintu kamar mandi samar-samar dalam suara derasnya hujan yang mengguyur atap rumahnya terdengar suara wanita menangis. Teh ratih berhenti sejenak, untuk memastikan bahwa suara itu memang suara orang bukan suara angin ataupun air hujan.

Suara tangisan wanita itu semakin kencang, terdengar begitu lirih seperti orang kesakitan. Dalam hati teh ratih mengutuk, dasar setan sialan tak henti-hentinya menggangguku. Teh ratih mencoba menghiraukan dan langsung masuk ke kamar mandi. tapi lama-kelamaan suara perempuan itu sedikit mengganggu, karena teh ratih sudah geram dengan mengenyampingkan rasa takut dia memberanikan diri untuk mencari arah suara tangisan itu berasal.

Suara tangisan itu berasal dari arah samping. Teh ratih yang baru selesai keluar dari kamar mandi langsung membuka pintu. Sebatas mata memandang hanya kegelapan dan air hujan yang terlihat, teh ratih menengok kekiri dan kekanan tapi tak ada seorangpun terlihat.

“heh sundal, keluar kau !!” tantang teh ratih teriak ditengah malam.

Suara tangisan itu kini semakin jelas, terdengar dari arah sumur milik teh ratih. Teh ratih yang merasa ditantang, dia keluar tak peduli lagi dengan derasnya air yang membasahi tubuhnya.

Teh ratih mendongkak untuk melihat kedasar sumur, dengan susah payah ia mencoba memecingkan mata yang terhalang cucuran air dari rambutnya. Lilinnya sudah tentu padam. Begitu kepala teh ratih mulai mendongkak kebawah suara itu terdengar lebih jelas.

“dasar sundal.” Ucap teh ratih yang kemudian mengambil batu dari samping rumahnya yang ukurannya sebesar helm yang ia angkat dengan susah payah.

byurrr terdengar bunyi yang menggema didalam sumur yang diikuti dengan jeritan suara perempuan. Untuk sejenak suara perempuan itu hilang, teh ratih yang merasa sudah puas mendongkak lagi untuk mengecek didalam sumur. Terlihat sesosok tubuh dengan rambut basah tergerai panjang menggelantung ditali timba sumur. Dalam sekejap keberanian teh ratih luntur dan membuatnya tersentak kaget bukan main.

Tubuh teh ratih lemas tidak berdaya, dia masih terduduk ditanah menyaksikan tali timba yang terus bergerak seperti ada seseorang yang sedang menariknya dari bawah. Teh ratih mencoba berteriak memanggil suaminya, namun suara hujan yang deras telah meredam suaranya. Teh ratih tak sadarkan diri saat melihat sesosok wanita yang hendak menyeret kakinya agar ikut masuk kedalam sumur.

Teh ratih ditemukan dipinggiran bibir sumur dan hampir saja nyemplung kebawah sekitar jam 4 subuh oleh ibunya yang menyadari karena anaknya tidak ada dikasur. Peristiwa itu menggemparkan warga kampung, karena mungkin dua tetangga kang Asep yang malam itu menginap membeberkannya ke warga yang lain. Bahkan menurut kang Asep beberapa warga sampai datang menjenguk juga, karena isu yang berkembang di masyarakat katanya teh ratih mau bunuh diri dengan cara terjun kedalam ke sumur.

Ketika kang Asep menimba air sumur untuk mengisi bak mandinya secara tak sengaja dalam ember air yang ia tarik terdapat bungkusan pocong kecil seperti dulu yang ditemukan kang Asep dibawah batu. Rupanya si pengganggu belum kapok-kapok.

“ini pak ditemukan lagi.” Ucap kang Asep setelah selesai menceritakan peristiwa istrinya sambil menyodorkan pocongan kecil.

Karena bapak tak tega mendengar cerita kang Asep dengan terpaksa dia mau turun tangan lagi, karena menurut bapak ini sudah keterlaluan. Kalau niatnya Cuma ngasih pelajaran mungkin masih bisa ditolerin tapi ini sudah niat mencelakakan.

Keesokan harinya, sekitar jam 3 sore keluarga saya datang ke rumah kang Asep, saya memakai motor pinjaman dari adik bapa untuk membonceng kedua adik saya. Teh ratih terlihat memprihatinkan ketika kami datang kesana, tubuhnya tampak kurus tinggal tulang yang terbalut kulit. Kehidupannya tak tenang, terror yang terus dialaminya membuat hidupnya berantakan.

Sebelum kami pulang bapak berpesan pada kang Asep, agar jangan membiarkan teh ratih keluar rumah sendirian, si pelaku santet tak berani masuk rumah karena sudah dihalangi pagar ghoib maka dia berusaha mengajak si korban keluar rumah untuk diperdaya.

Keesokan harinya setelah pulang dari rumah kang Asep, saya diajak bapak untuk menemui seorang pria. yang ternyata adalah seorang paranormal cukup terkenal dikampung saya. Jadi dikampung saya itu ada seorang pria tua yang cukup tersohor, banyak orang-orang besar dari kota yang datang kerumahnya.

Tidak bisa dipungkiri, percaya atau tidak memang masih banyak orang-orang yang datang ke orang pintar atau paranormal untuk meminta restu agar semua urusannya lancar. Masalah bisnis, pencalonan diri jadi aparatur negara sampai masalah kecil seperti ingin lolos tes cpns banyak dari kita menggunakan jasa mereka atau bahkan datang ke tempat-tempat keramat. Saya tak mengerti apakah ini termasuk menyekutukan tuhan atau tidak tapi begitulah adanya, tapi jangan berpikir bahwa datang ke tempat keramat hanya sebatas yang terlihat di televisi saja bahwa ritualnya menakutkan dan menyeramkan, semuanya terlihat biasa bahkan normal-normal saja.

Saya tidak begitu kenal dengan pria tua ini, karena jarang bergaul dengan warga mungkin karena terlalu sibuk dengan tamu-tamu kotanya itu. Yang pasti seluruh kampung sudah tahu pria tua ini dengan nama yang akan saya samarkan. Aki merah begitu mungkin saya akan menyebutnya karena saat pertama kali melihatnya dia mengenakan baju merah.

Ketika kami datang ki merah sedang asyik memandikan burung perkututnya, kebetulan hari itu tidak ada tamu yang datang kerumahnya. Ketika basa-basi selesai dan kami dipersilahkan masuk, mimik muka bapak yang tadinya ramah kini berubah menjadi serius.

“sudahlah ki, akhiri semuanya.” Ucap bapa pada ki merah.

Entah benar-benar tidak mengerti atau hanya pura-pura ki merah tampak kebingungan dengan ucapan bapak. Dia menatap bapak lekat-lekat dengan penuh rasa curiga.

“kasihan, dia masih muda. Apa pengalaman yang dulu tidak membuat aki belajar.” Seakan tidak peduli dengan mimik muka ki merah, bapak terus melanjutkan ucapannya.

“apa maksudmu ?” ki merah akhirnya merespon.

“entah ada yang menyuruh aki, atau aki sendiri yang punya urusan dengan orang ini. Tolong jangan ganggu dia lagi, saya benar-benar memohon kali ini. Istrinya tampak menderita karena ulah aki.” Bapak masih tetap melanjutkan ucapannya dan tidak menggubris pertanyaan ki merah.

Usai menyampaikan permohonannya bapak mengajak saya untuk pergi meninggalkan ki merah dengan wajah penuh tanda tanya. Sempat terbesit juga dalam benak saya, apa yang sebenarnya sedang dilakukan bapak. Jika pun bapak sudah mengetahui orang yang telah mengganggu keluarga kang Asep, apakah ki merah orangnya apakah bapak tidak salah melemparkan tuduhan tersebut ?

Ingin rasanya saya bertanya tentang ulahnya tadi siang dirumah ki merah, tapi melihat mimik muka bapak yang tidak seperti biasanya membungkam keberanian saya untuk bertanya. Mungkin kita biarkan saja waktu yang akan menjawabnya, saya hanya penonton biasa yang hanya ikut menyimak.

Sore hari sepulang dari rumah ki merah, rumah saya kedatangan tiga tamu. Satu pria dengan kumis lebat mengenakan peci hitam, dan dua pria lagi mengenakan kaos oblong biasa yang dibalut dengan jaket kulit berwarna coklat. Saya tidak mengenal ketiga pria tersebut, yang pasti bukan warga dari kampung saya.
Begitu dipersilahkan masuk, mereka segera duduk. si pria berpeci hitam yang ternyata setelah memperkenalkan diri adalah seorang lurah dari kampung kang Asep.

“ada apa ya pak ?” ucap bapak.

Pak lurah mulai menceritakan kejadian dikampungnya, bahwa kang asep hampir saja membunuh salah satu warganya, untung hal tersebut masih bisa dicegah sehingga tidak ada korban. Kejadian itu berlangsung saat warga terlelap tidur sekitar jam 10 malam, warga yang terbangun karena mendengar suara teriakan minta tolong dari seorang pria.

Lantas setelah kang Asep dan warga yang jadi sasaran kemarahan kang Asep ini dibawa ke balai desa, maka masalah mulai terungkap disana. Kang Asep merasa curiga bahwa pria yang ternyata seorang pegawai perkebunan teh ini menjadi ulah dari guna-guna istrinya. Tadinya pak lurah berniat akan membawa masalah ini ke polisi, tapi takutnya terjadi salah paham maka pria berpeci hitam tersebut bilang kepada bapak bahwa sebelum masalah ini dibawa keranah hukum, ia ingin menyelesaikannya dulu secara kekeluargaan.

“dan saya mendengar bahwa Asep berobat atau konsultasi dengan bapak, apakah bapak yang memberi tahu pelaku guna-guna istrinya itu ?” ucap pak lurah.

Bapak merasa kaget mendengar kabar tersebut, tentu saja dia belum pernah berbicara apapun masalah pelaku ataupun orang yang ada dibelakang santet istrinya. Kenapa kang Asep gegabah bertindak tanpa memberitahu dahulu, kalau begini caranya kang Asep malah menyeret bapak masuk kedalam masalah. Hendak menolong anjing yang terjepit tapi balasan terima kasihnya malah menggigit.

Agar semua beres dan jelas, maka bapak bersedia datang ke kampung kang Asep untuk musyawarah di balai desa menyelesaikan masalahnya. Saya ikut membonceng bapak, sekaligus ingin menjawab rasa penasaran saya apa yang akan terjadi selanjutnya.

Begitu kami sampai, keadaan didalam ruangan balai desa sudah ramai oleh warga, didepan terlihat kang asep yang sedang duduk dikursi kayu disebelah kanan, sedangkan diarah berlawanan tampak seorang pria yang juga duduk dengan wajah gelisah penuh ketakutan. Baru belakangan saya tahu bahwa pria yang hampir saja jadi sasaran amukan kang Asep ini bernama kang Mardi.

Pak lurah mulai membuka musyawarah. Saya duduk bersama warga lainnya, sedangkan bapa berada didepan bersama pak lurah. Suasana dibalai desa ini mirip sekali diruang persidangan, kang Asep sebagai terdakwa, kang Mardi sebagai korban sedangkan pak lurah tampak seperti hakim pengadilan.

“kenapa kamu ingin membunuh mardi ?” tanya pak lurah.

“karena dia sudah mengguna-guna istri saya, kampret kau mardi !!” teriak kang asep dengan penuh amarah.

“saya tidak melakukan apapun pada istrinya pa lurah, siapa yang bilang bahwa aku pelakunya. Apakah Dia.. dia si dukun sialan itu yang memberitahumu, sehingga timbul fitnah ini.” Kang mardi tak kalah geram sambil menunjuk-nunjuk muka bapak yang masih santai duduk disamping pak lurah.

Jujur saya sedikit tersinggung ketika bapak dikatakan dukun sialan oleh kang mardi. Pertama bapak saya bukan dukun dan tidak membuka praktek, kedua manusia sialan tidak akan mau membantu orang lain apalagi pertolongannya itu bisa membahayakan keluarganya. Mungkin bapak saya bukan malaikat yang seratur persen orang baik dan sempurna, tapi tetap saja saya merasa marah ketika mendengar ucapan kang mardi.
Semua mata tertuju pada pada bapak termasuk pak lurah, tanpa perlu ditanya lagi bapa kemudian membuka mulut.

“sep apa saya pernah mengucapkan satu nama terkait pelaku yang mengguna-guna istrimu ?”

Kang asep hanya diam tak memberikan jawaban apapun, wajahnya tertunduk mungkin karena malu. Pa lurah mengulang pertanyaan bapak kepada kang Asep untuk mendapatkan jawaban pasti.

“memang tidak pak, tapi si mardi ini kan dulu sempat berhubungan dengan ratih sebelum akhinya saya menikahinya. Lagian tadi malam dia terlihat lewat dirumah saya malam-malam. sudah barang tentu dia pelakunya pak lurah.” Ucap kang asep masih dengan nada geram.

“saya semalam hanya lewat pak lurah, tidak ada maksud apa-apa. Lagian istrimu itu emang bidadari ? masih banyak wanita cantik diluar sana yang bisa saya dapatkan.” Ucap kang mardi yang tak kalah emosi.

Ketika kang mardi mau berkata lagi, kang asep beranjak dari duduknya dan meloncat sambil melayangkan satu pukulan tepat di pipi sebalah kiri kang mardi. Suasana dibalai desa kembali riuh, ada warga yang sibuk menarik kang asep agar tidak berkelahi, namun sebagian lagi bersorak ketawa-ketiwi menyaksikan adegan yang jarang terjadi ini.

Kang mardi yang merasa dirinya dilecehkan karena dipukul dimuka umum merasa marah dan balik ingin menyerang, tentu saja hal ini membuat warga kerepotan memisah dua pria yang sedang dikuasai amarah ini.
Hampir lima belas menit kegaduhan berlangsung, hingga keadaan kondusif kembali. kedua pria yang berkelahi ini kembali duduk tenang dengan kawalan beberapa warga disampingnya, sekedar jaga-jaga agar kerusuhan tidak terulang kembali.

“saya tidak sedikitpun mengganggu istrinya, pak lurah. Memang apa buktinya kalau saya yang melakukan guna-guna itu hah ? lagian saya baru tahu kalau istrinya diguna-guna, pak lurah. Bukankah dari kabar yang saya dengar istrinya mau bunuh diri disumur belakang rumahnya. Lalu sekarang dia marah-marah menuduhku yang tidak-tidak. Apakah ini cara kau saja untuk mencari kambing hitam atas ketidak becusanmu mengurus istri ?” bentak kang mardi yang mungkin merasa emosi karena pukulan kang asep belum ia balas.

Kang asep hendak kembali loncat dan melayangkan pukulan, namun kali ini ada dua orang warga yang menahannya. Begitu juga kang mardi yang kedua tangannya dipegang warga lainnya seperti seorang tahanan.
Pak lurah tampak kebingungan, apa yang harus dia lakukan untuk menyelesaikan pertikaian kedua warganya ini. Setelah berpikir cukup lama, dan membiarkan kang mardi dan kang Asep beradu mulut, akhirnya pak lurah menggebrak meja. Keadaan menjadi hening semua mata tertuju kepada pak lurah.

“begini saja, agar semuanya beres. Kita tak punya bukti bahwa mardi yang menyantet istirnya asep. tapi untuk menghilangkan rasa penasaran asep yang menuduh bahwa mardi pelakunya, mari kita tanya saja ke ahlinya. Orang yang lebih ngerti tentang hal-hal seperti ini.” ucap pak lurah, yang kemudian memalingkan pandangannya kepada bapak saya.

“menurut bapak yang lebih ngerti tentang hal-hal seperti ini. Sebenarnya siapa orang yang telah tega mengguna-guna istrinya si asep ini, apakah mardi orangnya atau ada orang lain ?”

Mendengar pertanyaan pak lurah, mimik muka bapak tampak kebingungan, apa yang harus dia katakan sekarang, Ditambah semua mata warga tertuju padanya. Keadaan hening, semua warga terlihat serius siap-siap mendengarkan ucapan yang akan keluar dari mulut bapak saya, hingga akhirnya bapak menarik nafas dalam-dalam sebelum ia mulai berbicara.

0 komentar

Posting Komentar