Senin, 02 November 2015

Cerita Hantu di Palangkaraya

Sebenarnya kisah ini sudah lama sekali kualami. Kurang lebih 10 tahun lalu saat kami sekeluarga berlibur ke rumah Tante di Palangkaraya. Aku tidak menyangka bahwa kawasan tempat tinggal saudaraku itu masih dikelilingi hutan. Sejujurnya aku sangsi bisa menikmati liburanku disana. Mengingat letak rumah satu dengan yang lain masih terbilang jauh, belum lagi kamar mandi yang berada terpisah dari rumah. Ini benar-benar mimpi buruk buatku.

Namun hal ini justru disambut senang adikku yang saat itu baru berusia 6 tahun. Karena dia tau disana akan bertemu dengan famili yang sebaya dengannya. Sepanjang perjalanan dari Jawa ke Kalimantan mulutnya tak pernah berhenti bicara. Huh…. Seandainya aku juga bisa menikmati liburanku.

Kami tiba di rumah Tante pada sore menjelang malam. Barang-barang bawaaan segera kuletakkan di dalam kamar. Ayah dan Ibu langsung ngobrol dengan Tante di ruang tamu. Sedangkan adikku sudah dari awal kabur dengan teman-teman barunya yang main di jalanan depan rumah. Anak kecil memang gak pernah kenal rasa capek ya. Dan aku memutuskan untuk berkeliling di sekitar rumah Tante.

Hal yang pertama kali kucari adalah kamar mandi. Karena aku memiliki kebiasaan buang air saat tengah malam. Itu sudah seperti kebiasaan yang tidak dapat kuhilangkan. Dan betapa kecewanya aku saat kutemukan kamar mandi Tante terletak agak jauh ke belakang dari rumah. Di sebelah kamar mandi kulihat sumur manual (sumur yang ditimba hanya dengan ember dan bantuan tali panjang). Lalu semen 3×3 meter untuk tempat mencuci pakaian karena kulihat tiang jemuran di sisi lainnya. Di sekitarnya masih banyak rumput ilalang dan lahan kosong yang gelap.

Aku mengalihkan pandangan ke arah utara. Kulihat ada rumah penduduk dalam jarak ± 25 meter. Dan hal yang sama juga kutemukan di sisi lainnya. “ini sih perkampungan penduduk, bukannya kompleks.” Ujarku dalam hati.

Aku terkejut saat menyadari ada sosok anak kecil yang sedang mengintip dari balik tembok rumah tetangga. Karena jarak yang menurutku lumayan jauh, aku sampai harus memicingkan mata untuk memastikan apa benar ada sosok disana atau hanya halusinasiku. Kulambaikan tanganku ke arahnya. Dan dia tertunduk malu. Aku hanya melihat separuh badannya dari kepala sampai ke kaki. “Sini!” kataku berusaha ramah. Anak itu hanya tersenyum tipis dan menatapku masih dalam posisi mengintip. Karena kupikir aku membutuhkan teman bicara, aku berusaha menghampirinya. Tapi entah kenapa anak itu justru pergi dan menghilang di balik tembok. “anak yang aneh…” gumamku sambil mengendikkan bahu dan kembali masuk ke dalam rumah.

******



Tengah malam aku terbangun karena hasrat ingin buang air sudah tidak dapat kutahan lagi. Kupandangi sepupuku yang tertidur pulas. Rasanya tidak tega untuk membangunkannya. Akhirnya aku ambil senter yang memang disediakan bila sewaktu-waktu aku ingin ke kamar kecil. Bergegas aku pergi menuju ke halaman belakang rumah.

Selesai dari “ritual tengah malamku”, aku keluar dari kamar kecil dan menyalakan senter. Baru saja kakiku melangkah, entah kenapa ada dorongan yang sangat kuat dari hatiku untuk melihat ke arah rumah tetangga. Jujur aku kaget melihat anak kecil yang tadi sempat mengintipku saat ini berdiri di posisi dan sikap yang sama seperti pertama kali aku melihatnya. Dia menatapku dengan sebelah matanya. Aku mencoba untuk tersenyum dan mengangguk untuk menyapanya. Namun kali ini dia tidak menunduk, melainkan mengerjapkan matanya dan seolah tersenyum. “Ngapain disitu?” tanyaku setengah berteriak. Dia menatapku dan tersenyum. “Hmmm…anak yang pemalu.” Ujarku dalam hati. “kamu gak takut sendirian disana? Rumahmu dimana?” tanyaku seraya menghampiri. Dan dia masih menatapku tak berkedip.

Entah karena firasatku atau memang aku masih dilindungi saat itu. Tiba-tiba akal sehatku mengingatkan aku untuk berhati-hati. Kuhentikan langkahku dan terdiam di dalam pagar pembatas rumah. Anak itu masih menatapku dari balik tembok rumah tetangga sambil tersenyum. Aku ingin kembali ke dalam rumah, tapi rasa penasaranku semakin bertambah besar. Aku pancing dia untuk keluar dari “persembunyiannya”. Anak itu masih terdiam dan menatapku dengan tatapan tajam. Sungguh aku jadi tidak nyaman dibuatnya. “Hei! Kamu bisa kesini gak? Pintu pagar ini terkunci. Jadi aku gak bisa kesana.” Pancingku agar dia mau memperlihatkan diri. Dan secara mengejutkan anak itu menjawab “Kau yakin?” tanyanya. “Iya. Kemarilah!” pintaku. “Apa kau yakin?!” tanyanya sekali lagi. Namun kali ini sambil meloncat sedikit kesamping untuk memperlihatkan dirinya.

“Oh Tuhan!!” cekatku dalam hati. Anak itu hanya memiliki separuh badan. Tubuhnya terpotong secara vertikal dari kepala hingga ujung kaki. Jadi dia hanya memiliki separuh kepala, 1 mata, separuh hidung dan mulut, separuh tubuh, sebelah kaki dan tangan. Aku menutup mulutku dan langsung lari menghambur ke dalam rumah lalu mengunci pintu belakang. Malam itu terasa seperti setahun. Aku sama sekali tidak bisa tidur dan bersembunyi di balik selimut sambil membaca doa.

***



Untunglah setelah kejadian itu aku tidak lagi bertemu dengannya. Mungkin juga karena aku sudah tidak pernah menggunakan kamar kecil di waktu malam, atau memang anak kecil itu hanyalah halusinasiku saja. Tapi aku cukup bersyukur karena melalui 3 hari tanpa “gangguan” dari mahkluk apapun.

Malam itu adalah malam terakhir aku menginap di rumah Tante, karena besok pagi kami sudah harus kembali ke Jawa. Sepupu mengajakku bicara sampai larut malam. Dan seperti biasa, “panggilan alam” untuk segera ke kamar kecil memaksaku untuk segera menuntaskannya.

Aku meminta sepupu untuk menemaniku ke belakang. Dengan alasan sudah mengantuk dia menolak mentah-mentah dan (pura-pura) tidur di sampingku. “Duuh…gimana nih?” kataku kebingungan. Akhirnya kuberanikan diri untuk pergi ke kamar kecil sendirian.

Sambil berdoa dalam hati aku segera menuntaskan “ritual tengah malamku”. Benar-benar tidak nyaman!! Tapi apa boleh buat? Daripada kutahan sampe pagi. Dengan rasa lega karena tidak ada “gangguan” selama manuntaskan hajat, aku membersihkan diri dan bersiap untuk keluar. Apa yang kutemukan di balik pintu sungguh mengejutkanku. Kulihat anak itu sudah berdiri di hadapanku. Masih dengan tubuh dan muka yang tidak lengkap. Aku hanya mampu terdiam dan menatapnya.

“Takut kah dengan saya?” tanya anak itu tanpa mengalihkan pandangannya kepadaku. Aku hanya mampu mengangguk pelan. Dia menunduk sedih, “aku hanya ingin memiliki teman.” Ujarnya lirih. Aku tertegun dibuatnya. Tak tau harus berkata apa. Rasa takutku berubah menjadi iba. Aku tau ini tampak konyol. Tapi jujur aku memang jadi iba melihatnya.

“Namaku R.I.” kataku akhirnya. Dia menatapku dengan tatapan berbinar. Dan dengan senyum separuh itu dia memperkenalkan dirinya “panggil aku Tuwut.”….Nama yang unik, kataku dalam hati. “memang unik.” Sahutnya tiba-tiba seolah membaca pikiranku. Aku hanya tertawa canggung. “Hmmm….aku harus kembali ke dalam rumah. Senang berkenalan dengan Tuwut.” Kataku sambil tersenyum basa basi. “selamat malam, R.I.” sahutnya sambil melambaikan tangan. Aku mengangguk sekilas dan langsung berlari masuk ke dalam. Sekilas kulihat Tuwut masih berdiri mematung sambil memandangku masuk ke dalam rumah.

***



Keesokan harinya aku dan keluargaku berpamitan kepada Tante sekeluarga. Sengaja tak kuceritakan kepada siapapun akan apa yang kualami semalam. Aku yakin tak ada seorangpun yang akan percaya begitu saja. Malah bisa jadi aku akan diberi obat halusinasi atau diseret ke psikiater.

Aku membereskan koper-koper ke dalam bagasi mobil yang kami sewa untuk mengantar ke pelabuhan Sampit. Tiba-tiba aku merasa seperti sedang diawasi. Kuedarkan pandanganku ke segala arah. Tapi hasilnya nihil. Kembali kutata barang bawaaanku ke dalam bagasi.

Kurasakan sesuatu menyentuh pundakku. Hampir aku terloncat kaget karena Tuwut mendadak muncul dari balik punggungku. Dia menatapku sedih, “Mau pulang ya?” . Aku hanya mengangguk. “aku kesepian lagi.” Katanya lirih. “Jangan sedih dong. kan kapan-kapan aku bisa kesini lagi.” Kataku tersenyum. “benarkah?” tanyanya tak percaya. “Heem..”anggukku. Dia menatapku lama. Dan aku berusaha tidak memikirkan sesuatu karena aku tau dia pasti dapat membaca pikiranku. Akhirnya dia tersenyum dan mengacungkan jari kelingking seraya berkata “Tetap teman?”. Dan kubalas “Tetap teman”.

Siang itu Sang Matahari menyaksikan 2 mahkluk ciptaan Tuhan yang berasal dari dunia berbeda berhadapan dan saling mengacungkan jari kelingking mereka. Aku tau ini mungkin tampak salah. Mengucapkan janji pertemanan dengan mahkluk astral. Entah apa yang ada di dalam otakku saat itu. Namun semenjak kepergianku dari Palangkaraya. Aku tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Tuwut

0 komentar

Posting Komentar