Senin, 02 November 2015

Cerita Setan pengen Ikut Maen

Masa kecilku kuhabiskan di sebuah kota kecil di wilayah Jawa Tengah. Ayahku seorang pegawai negri yang ditugaskan disana. Lingkungan tempat tinggal kami saat itu sangat sepi dan gelap. Beruntunglah ada satu lampu penerangan jalan tepat di sudut depan rumah, sehingga rumah dinas kami tidak terlalu gelap bila dilihat dari luar.

Jaman dulu ada sebuah permainan anak-anak di kampungku. Entah apa namanya aku agak lupa. Cara bermainnya seperti ini. Ada sekelompok anak-anak yang membentuk barisan dan anak yang dibelakang akan memegang pinggang anak yang berada di depannya. Lalu anak lain yang dapat giliran menyerang akan berusaha menyentuh anak dalam kelompok barisan paling belakang. Dan anak yang berada dalam kelompok barisan paling depan akan berusaha menghalang-halangi sembari bergerak ke kanan dan ke kiri yang juga diikuti oleh anak-anak lainnya yang berada di belakang. Mudah-mudahan kalian tidak bingung dengan penjelasanku. Aku dan beberapa anak kampung pun senang bermain permainan ini bila malam telah tiba. Terutama saat bulan purnama yang indah.

Tibalah giliranku yang harus menyerang. Aku berlari dan berusaha untuk menangkap temanku yang berada di barisan paling belakang saat itu. Karena malam hari, tentu saja wajah teman-temanku tidak kelihatan jelas sekali. Namun itu tidak mengurangi kesenangan kami untuk terus bermain. Aku terus berlari dan mengejar. Begitu tanganku hampir menjangkau anak yang paling belakang, entah kenapa muka anak ini berubah menjadi buruk sekali. Badannya kecil, layaknya anak usia 8-9 tahun. Tapi mukanya tua sekali. Aku terkejut dan berhenti mengejar sambil mengusap-usap mataku. Kulihat teman-temanku yang lain tertawa-tawa kesenangan seolah tak menyadari ada salah satu dari kami yang berbeda. Aku bertanya pada teman yang berada dihadapanku “tunggu..tunggu..yang berdiri paling belakang siapa sih? Kok mukanya aneh banget.” mereka seketika menghentikan permainan dan saling memandang. “di belakang ada aku.” Kata Resti yang berada di barisan paling belakang. Karena tidak percaya aku mengawasi setiap muka dari teman-temanku, namun tak kutemukan wajah tua tadi diantaranya. Aku hanya bisa termenung dalam diam. “ya udah, kalo kamu kecapekan biar giliran yang lain jadi penyerang aja. Kamu jadi buntut (anak yang berada di barisan paling belakang) ya.” kata Murni sambil menepuk pundakku. Sebenarnya aku tidak merasa capek sama sekali. Tapi terpaksa aku menuruti kata-kata Murni daripada aku dilarang yang lain untuk bermain bersama mereka.

Kini aku berada di barisan paling belakang. Dan kami kembali memulai permainan kami. Sesaat aku dapat melupakan kejadian aneh yang beberapa waktu lalu menimpa diriku. Aku terhanyut oleh gelak dan tawa akan serunya permainan ini. Sampai akhirnya kurasakan ada tangan dingin yang memegang pinggangku dari arah belakang. Aku melihat ke bawah dan menemukan sepasang tangan keriput dengan kuku dan kulit terkelupas memegang erat pinggangku. Lalu kurasakan hawa yang sangat dingin dari balik tubuhku ini. “khe khe khe….” suara parau itu terkekeh pelan dari arah belakang. Dan saat kulirik ke arah kanan, betapa terkejutnya aku melihat ada wajah yang sangat tua dengan hidung bengkok panjang dan mata yang juga melirik tajam ke arahku. Sambil terkekeh dia berkata “ikut maiiinn…” seketika itu juga aku teriak dan berlari ke dalam rumah. Sejak saat itu aku jadi takut untuk bermain permainan serupa di waktu malam

0 komentar

Posting Komentar